Silungkang – Seri Menanti
Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja
Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu
Bahasa Indonesia, Silungkang, Malaysia
Oleh Djasril Abdullah
BAGIAN PERTAMA
30 Maret 1998, adalah berakhirnya masa jabatan saya sebagai Kepala Desa Silungkang Oso periode 1990 -1998, kemudian saya di SK kan untuk PJS (Pejabat Sementara) Kepala Desa Silungkang Oso menjelang terpilih Kepala Desa baru. Menurut peraturan saya berhak mencalonkan diri lagi guna menjabat periode 1998 – 2006, kesempatan ini tidak saya sia-siakan, saya kembali mendaftar sebagai calon, bersama saya ada tiga orang kandidat lagi yang siap bertarung menghadapi Pilkades (Pemilihan Kepala Desa).
Sambil menunggu hari H Pilkades, saya tetap menjalankan tugas-tugas saya sebagai Pejabat Sementara Kepala Desa Silungkang Oso. Suatu hari sewaktu saya sedang sibuk siruang kerja, telepon berdering, “saya angkat”, Hello, Assalamu’alaikum” kata saya. “Waalaikumussalam, hallo Pak Desa, datanglah ke kontu (kantor) Desa Silungkang Tigo (Tiga), ko ughang dari Malaysia la tibo ha (orang dari Malaysia telah tiba), nyo nak batomu jo Pak Desa,” (mau bertemu dengan Pak Desa) kata Pak Drs. Dasril Munir Kepala Desa Silungkang Tigo yang juga Pengurus Koperasi Kopinkra. Memang ada beberapa bulan yang lalu telah menginformasikan kepada saya bahwa ada orang Malaysia ingin membawa pengrajin beserta alat tenun kesana guna pameran di Musium Diraja Negeri Sembilan, dan saya menyediakan diri untuk dikirim ke Malaysia.
Setibanya saya di Kantor Desa Silungkang Tigo, saya terus ke ruangan tamu, disana duduk Pak Drs. Dasril Munir beserta dua orang Malaysia, keduanya laki-laki, yang seorang sudah agak tua dan yang seorang lagi masih kelihatan agak muda.
“Assalamu’alaikum” kata saya, “Waalaikumussalam” mereka menjawab bersama. Saya menyalami satu persatu sambil menyebut nama saya “Djasril Abdullah”. Saya duduk di kursi tamu berhadap-hadapan dengan tamu. “Ini dia pengrajin yang siap untuk ke Malaysia” kata Pak Drs. Dasril Munir memulai pembicaraan, yang dijawab oleh tamu yang tua, “Sebelum kita berbincang-bincang berkenaan tersebut, ada baiknya saya mengenalkan diri dulu, nama saya Tan Sri Samad Idrsi dari pada Lembaga Muzium Negeri, Negeri Sembilan Darul Khusus, Malaysia dan yang satu ini namanya Encik Wan Abdullah bin Haji Wan SU, PPT, AMN, ANS, PJK. Beliau adalah Ketua Penolong Kerajaan Negeri, (Pentadbiran dan Kewangan) Negeri Sembilan Darul Khusus” (Kira-kira sama dengan Kepala Biro Pemerintahan dan Keuangan di Kantor Gubernur, pen). Sungguh saya terharu rupanya tamu yang datang ini adalah pejabat, kedatangannya resmi utusan pemerintah. Tan Sir Samad Idris, yang kemudian saya ketahui beliau adalah bekas Wakil Rakyat Peringat Negeri (DPRD Propinsi, Pen). Bekas Wakil Rakyat Parlimen (DPRD Pusat, Pen). Bekas Mentri Besar Negeri Sembilan (Gubernur, Pen). Bekas Menteri Kebudayaan, Beliau dan Sukan Malaysia (Mentri Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga, Pen).
“Kami sangat senang sekali Bapak boleh (bisa, pen) ikut ke Malaysia bersama kami.” Kata Tan Sir Samad Idris. “Tapi” jawab saya “Saya sudah mendaftar menjadi calon Kepala Desa dan sudah lulus tes, tinggal menunggu hari pemilihan lagi, disamping itu saya sangat keberatan sekali untuk berpisah dengan isteri dan anak-anak saya, saya mempunyai anak tiga orang yang masih Sekolah Dasar” kata saya dengan nada serius.
“Kami sangat mengharapkan kesediaan Bapak untuk ikut ke Malaysia, sebaiknya Bapak mundur dari pencalonan Kepala Desa, mengenai isteri dan anak-anak tak usah risau, bawa mereka ke Malaysia, saya dengar isteri Bapak juga pandai bertenun songket, isteri Bapak juga ikut bekerja disana, berkenaan dengan anak-anak Bapak, kita uruskan sekolahnya, rumah untuk Bapak kami sediakan untuk sekeluarga, kami juga minta tolong carikan dua orang lagi pengrajin, jadi empat pengrajin yang akan diberangkatkan ke Malaysia”.
Ya ………. Allah, tidak bisa saya membayangkan bagaimana perasaan saya mendengar ucapan Tan Sri Samad Idris itu, haru, bangga, gembira bercampur aduk di dalam dada, kalau tidak malu rasanya, mau saya melonjak-lonjak, untung saya masih dapat mengendalikan diri.
“Sekarang” kata En. Wan Abdullah bin Haji Wan Su “Kami serahkan kepada Bapak duit (uang, pen) Rp. 500.000, untuk mengurus Paspot (paspor, Pen) Bapak dan isteri beserta 3 orang anak dan Rp. 500.000, lagi kami serahkan kepada Bapak Dasril Munir bagi pengurusan paspot yang dua orang lagi”, sambil menyodorkan kepada saya resit (kwitansi, pen) untuk saya tanda tangani, rangkap dua, selembar diserahkan kepada saya.
Kwitansi tersebut juga ditanda tangani oleh Kepala Desa Silungkang Tigo, Bapak Drs. Dasril Munir lengkap dengan stempel sebagai saksi, karena menurut peraturannya pembayaran selain dengan uang ringgit (mata uang Malaysia, pen) harus ada saksi. Tarikh Bekalan (tanggal pembayaran, pen) kwitansi tersebut adalah 1 Mei 1998.
“Bapak uruslah surat-surat Bapak, nanti kami tinggal ambil (jemput, pen) Bapak saja lagi” kata Tan Sri Samad Idris. Setelah minum dan makan ale-ale, tamu mohon pamit kembali ke penginapan di Padang, saya ikut mengantar ke loket, mobil dinas kantor Gubernur telah menunggu di Loket, rupanya Tan Sri dan Encik Wan (panggilan akrab oleh saya sewaktu di Malaysia) juga tamu resmi di Kantor Gubernur.
Dengan senyum kecil saya pulang ke rumah, dikantong saya “Lah Balipek Piti” (Telah Berlipat Uang) Lima Ratus Ribu Rupiah. Sebenarnya saya dan isteri saya sudah mengurus paspor 4 bulan yang lalu, dan tiga orang anak ikut paspor ibunya, jadi uang yang Rp. 500.000 itu dapat digunakan untuk keperluan lain dalam rangka keberangkatan ke Malaysia nanti.
Saya sudah duga, alangkah gembiranya isteri saya, karena keberangkatan ke Malaysia tinggal menunggu “jemput” lagi pula uang biaya paspor Rp. 500.000 sudah diganti. Setelah saya menceritakan hasil pertemuan dengan orang Malaysia dan memperlihatkan uang tersebut kepada isteri saya, eh …. Malah dia menangis sejadi-jadinya, “Indak ! Kami (dia menyebut kami kepada dirinya) ndak ka poi ka Malaysia tu do ! Sekali indak totek indak, kami lai patua ka datuak, tapi nan sakaliko kami mambantah, agia moo kami” (Tidak ! Kami (tidak mau pergi ke Malaysia itu ! Sekali tidak tetap tidak, kami patuh ke Datuk, tapi yang kali ini kami membantah, berilah maaf kami) katanya sambil menangis. Betul-betul “takan on ong” saya dibuatnya, saya diam saja, setelah agak reda tangisnya baru saya mulai bertanya : “Baapo dek baitu, iko kan kesempatan elok dek awak untuk maubah nasib, ingeklah maso depan anak, untuang-untuang ado parubahan hiduik awak, cubolah onik-onik bona dulu, jan copek maambiak kaputusan ndak nomua poi” kata saya untuk menyadarkannya (Kenapa begitu, ini kesempatan bagus bagi kita untuk merubah nasib, ingat masa depan anak, untung-untung ada perubahan hidup kita, cobalah pikir-pikir benar dulu, jangan cepat mengambil keputusan tidak mau pergi). Dia menangis lagi sambil berkata : “Kami ndak tega do maninggaan induak jo bapak nan sadang sakik, cubo pikia dek datuak, kok induak ndak manampak lai (buta karena diabetes), bapak lh sosak ongok (karena sakit paru-paru), bek ko samantaro awak di rantau nyo maningga, ndak batomu jo kami lai, kami bialah ndak bapiti asal lai sabau jo ughang tuo, kok ka mati lai dakok awak, kami ndak manyosai do, kami mintak moo, ndak bisa manuwik parenta datuak do, mambona kami.” (Kami tidak tega meninggalkan Ibu dan Bapak yang sedang sakit, coba pikir oleh Datuk, kok Ibu tidak bisa melihat lagi, bapak lah sesak nafas, sementara kita di rantau Beliau meninggal, tidak bertemu oleh kami lagi, kami biarlah tidak beruang asal berkumpul dengan orang tua, bila akan meninggal lai dekat kita, kami tidak menyesal, kami tidak maaf, tidak bisa menurut perintah Datuk, minta ampun kami).
Hmmm ………., saya hanya bisa menghela nafas panajng dan mengeluh, disatu sisi saya kecewa, disisi lain saya membenarkan juga keluhan isteri saya, benar istri itu hak si suami, tapi saya juga ingat bahwa surga itu dibawah telapak kaki ibu, saya sendiripun merasa kasihan melihat penderitaan penyakit kedua orang mertua saya itu, tapi akan membantu biaya pengobatan dengan apa, biaya rumah tangga pas-pasan saja, itulah terniat ingin merantau, mudah-mudahan terbantu nantinya. Berhari-hari saya memasukkan kebenaran supaya dia mau pergi ke Malaysia, tapi jawabnya lebh parah lagi “Bialah datuak songhang nan poi, kami jo anak-anak bialah tingga di siko” (Biarlah Datuk seorang saja yang pergi, kami dan anak-anak biarlah tinggal di sini).
Itu yang paling tak mungkin bagi saya berpisah-pisah dengan istri dan anak-anak. Saya terus mencari akal bagaimana niat untuk merantau ini tercapai, keadaan ini saya ceritakan kepada Kepala Desa Silungkang Duo Bapak Idrus Bagindo Molieh (Pak Dodok) almarhum. Beliau sudah kami anggap sebagai Bapak sendiri, kami banyak menerima nasehat dari beliau baik diminta maupun tidak diminta, “Pak! Tolonglah nasehati padusi ambo pak, rugi kalau kesempatan ko disio-siokan,” kata saya dengan nada hampir putus asa (Pak ! Tolonglah nasehati istri saya Pak, rugi kalau kesempatan itu disia-siakan). “Jadilah ambo cubo manasehati, bisuak pagi ambo datang” jawab Pak Dodok (Jadilah saya coba menasehati, besok pagi saya datang).
Besok paginya Pak Dodok datang, seperti biasanya beliau datang membawa oleh-oleh “Tapai dan Kupuak ubi Bukik Kociak” (Tapai dan Kerupuk ubi Bukit Kociak). Kami menyambut beliau dengan hati gembira. “Assalamu’alaikum ! Lai sehat-sehat jo” kata beliau, kami jawab : “Alhamdulillah, lai, diate bakpo lai sehat lo” (lai, diatas bagaimana lai sehat saja”. “Lai” jawab beliau sambil menyerahkan bungkusan. “Ha … ko ha………….. tapai duo malam, agia ka anak-anak bekko, ko kupuak ubi, gorianglah” (tapai dua malam, kasih ke anak-anak nanti, ini kerupuk ubi, gorenglah). “Eeee … apolo nan Bapak bao, tiok kamaghi Bapak ado-ado jo nan babao, tarimokasih Pak”, kala istri saya (Eeee … apaan nih Bapak bawa, tiap kemari Bapak ada-ada saja yang dibawa, terima kasih Pak). Setelah agak lama sudah minum, “Den ado nan mangecek jo kau saketek, dalam tu lah awak mangecek ha, bekko tadonga lo dek unghang ko”, kata Beliau sambil berkelakar (Gue ada yang ingin dibicarakan ke kau sedikit, di dalam itulah kita berbincang, nanti terdengar oleh orang lain). Beliau memberi nasehat panjang lebar, entah apa pembicaraan beliau, saya tidak tahu. Karena saya sengaja tidak mendengarnya, tapi yang masih teringat oleh saya ucapan beliau yang terakhir sengaja dibesarkan volumenya supaya terdengar oleh saya “Apo kecek den tu pikian lah, dulu, jan ditarimo sakali, ko mani jan di lulu, kok paik jan dibuang, lai obe dek kau da ..?”. (Apa ngomong gue pikirkan dulu, jangan diterima sekali, bila manis jangan ditelan, bila pahit jangan dibuang, paham apa ga kamu .. ?)
Istri saya hanya mengangguk mengiakan sebagai jawabannya, dan saya pun sebagai biasa “maota-ota” (ngobrol-ngobrol) dengan Pak Dodok mengenai akan habisnya masa jabatan kami karena kami sama-sama dilantik pada 30 Maret 1990 yang lalu di Gedung Pancasila Muaro-Sijunjung, diwaktu itu desa kita masih dalam wilayah Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung dan juga sama-sama berakhir masa jabatan 9 tahun sebagai Kepala Desa.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, saya tak pernah lagi berbicara tentang “Poi ka Malaysia” (pergi ke Malaysia) dengan istri saya, kalau tidak mau pergi, ya … sudah, mungkin belum nasib untuk kami ke Malaysia.
Sebulan telah berlalu, kabar dari Malaysia tidak ada, entah jadi, entah jadi, saya pun pasrah. Disuatu senja, sebagaimana biasa saya, istri dan anak-anak, sesudah sholat magrib makan bersama, selesai makan, istri saya berkata, “Takona lo dek kami, apo nan nyo kecekana dek Pak Dodok tu iyo bona lo, sajak baliau maagia nasehat dulu, dingin kapalo kami deknyo, sampai kini lapang dado kami rasonya, tamakan bona nasehat Pak Dodok tu dek kami, Tuak .. ! Bakpo-bakpo nyo, bialah awak poi ka Malaysia tu, untuang-untuang kok lai barubah nasib, disiko bona kami, kok malaikek mouk nan kamanjopuik ughang tuo tu, ndak jo bisa kami managaan do” (Teringat sama kami, apa yang diomongon Pak Dodok itu benar, sejak beliau memberi nasihat dulu, dingin kepala kami. Sampai kini lapang dada kami rasanya, termakan benar nasehat Pak Dodok itu oleh kami. Datuk … ! Bagaimana pun biarlah kita pergi ke Malaysia, untung-untung berubah nasib, di sini benar kami, bila malaikat maut yang menjemput orang tua itu tidak bisa kami melarang). Saya hanya termenung mendengar kata istri saya itu, pikiran saya “bapilin” (melintir), dari iyo ka indak, dari indak ka iyo (dari iya bisa tida, dari tidak bisa iya), “ta gonju-gonju” (tarik ulur), tapi sebagai kepala keluarga saya tetap tenang dan tersenyum, supaya suasana rumah tangga harmonis. “Kok baitu dimano nan ka elok lah, dimano nan ka aman rumah tango kito, jan soghang nak kaili, songhang nak ka mudiak, ko dapek yo saili samudiak ndak nyo, sampai lah batuo-tuo jan ado silang sangketo ndak nyo, aman.” kata saya dengan tenang (kalau begitu dimana yang bagusnya saja, dimana yang aman rumah tangga kita, jangan sendiri pergi ke hilir, sendiri ke mudik, bila dapat yang sehilir semudik hendaknya sampai nenek kakek jangan ada silang sengketa, aman). Segala pembicaraan saya dengan istri saya disimak oleh anak-anak saya, anak-anak saya senang karena tak pernah mendengar orang tuanya bertengkar dan berselisih paham, saya selalu berusaha supaya rumah tangga saya tetap harmonis, “ado samo dimakan, ndak ado samo di caghi”. (ada sama dimakan, tidak ada sama dicari).
Bulan Mei habis Juni datang, Juni habis Juli datang, kini Agustus pun hampir habis pula yang kaan disambut oleh September, 4 bulan sudah, namun kabar dari Malaysia tidak ada, saya merasa rencana ini batal, mungkin dikarenakan Indonesia dilanda “krismon” (krisis moneter) dan juga suhu politik di Indonesia memanas, sehingga orang Malaysia itu enggan atau takut masuk ke Indonesia.
BAGIAN KEDUA
Sebagaimana biasa saya tetap menjalankan tugas-tugas sebagai Kepala Desa, saya kembali mempertegas pendirian dan bertekad untuk menang dalam Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) Periode 1998 – 2006, segala sesuatu untuk itu saya persiapkan, isteri dan anak-anak pun juga menyadari akan hal itu bahwa “Poi ka Malaysia tu ndak jadi do” (pergi ke Malaysia tidak jadi), karena 4 bulan menanti kabar dari Malaysia tidak kunjung ada.
Saya sibuk mempersiapkan dan mengkoordinir Panitia Pemilihan Kepala Desa yang diketuai oleh Sdr. Syahruddin Syarif, dan saya pun yakin sebagian masyarakat masih ada yang simpati dan mengharapkan saya terpilih kembali, dan saya pun yakin bahwa saya sanggup bersaing dengan kandidat lainnya. Sebagai Pejabat Sementara, saya bertanggung jawab suksesnya pelaksanaan Pilkades. “Pak … ! Ado telepon untuak Bapak,” (Pak … ! Ada telepon untuk Bapak) kata salah seorang staf desa kepada saya. “Daghi mano ?” (dari mana ?) jawab saya tanpa melihat kepada staf itu karena sibuk. “Katonyo daghi Malaysia Pak” (Katanya dari Malaysia Pak) jawabnya. Siiir….,“Tasighok dagha” (tersirat darah) saya mendengar jawaban staf Desa itu, saya tinggalkan kesibukan saya, langsung saja saya menuju gagang telepon yang masih tergeletak diatas meja, saya angkat, “Hallo ….. Assalamu’alaikum, saya Djasril Abdullah, siapa disana ? Kata saya. “Waalaikumussalam, saya Muhammad Darus dari pada Negeri Sembilan Malaysia, saya nak bagi tahu Pak Djasril bahwa saya dan Tan Sri Samad Idris besok akan ke Padang, kami akan sampai di Silungkang pada 3 hari bulan Oktober, kami mohon Bapak sedia menunggu kami”. Kata suara telepon.” Baiklah, kami tunggu kedatangannya dengan senang hati” kata saya.
Hm ……, sebuah nada keluhan tanpa disadari lepas landas dari mulut dan hidung saya, saya terhenyak duduk di kursi tamu. “Pangona lah ba beliang-beliang” (berputar-putar) dunia panggung sandiwara, kita sebagai lakonnya, ikuti saja apa yang telah ditentukan oleh scenario itu, tapi “ndak samugha mambaliak-an talapak tangan do” (tidak semudah membalikkan telapak tangan). Sekarang tanggal 29 September 1998, Tan Sri dan Encik Mad Darus akan sampai di Silungkang tanggal 3 Oktober 1998, jadi ada 5 hari lagi termasuk hari ini. Maksud kedatangan Tan Sri dan Encik Mad Darus belum bisa diduga, tapi saya menyangka ada dua hal yang akan disampaikan kepada saya, yaitu pertama keberangkatan ke Malaysia gagal dikarena hal-hal yang tak dapat dielakkan, kedua kepastian berangkat ke Malaysia.
Ada lebih kurang setengah jam saya terhenyak di kursi tamu hanyut oleh “Pangona ba beliang-beliang tu”, kemudian saya langsung menemui isteri saya yang sedang asyik bertenun songket, memang tempat tinggal saya bersebelahan dengan Kantor Desa, dan langsung saya sampaikan isi percakapan telepon tadi, tapi tidak ada jawaban, menolak tidak, menyetujui pun tidak, “takatuang-katuang” (terkatung-katung)
Hasil percakapan telepon itu juga saya sampaikan kepada Ketua Pilkades Syahruddin Syarif, nampaknya dia kecewa, kalau sekiranya saya mundur dari pencalonan tentu akan dicari satu orang kandidat lagi untuk pengganti saya. Diwaktu itu kira-kira pukul 10.00 pagi, Sabtu, 3 Oktober 1998, saya ditelpon oleh Bapak Kepala Desa Silungkang Tigo, Drs. Dasril Munir, “Pak Desa, kabalai lah, ughang Malaysia tu lah tibo, kami nanti di Rumah Makan Memok, copek di,” katanya (Pak Desa, ke pasarlah, orang Malaysia telah tiba, kami nanti di Rumah Makan Memok, cepat ya). “Jadi, ambo barangkek kini” (Jadi, saya berangkat kini), jawab saya.
Di rumah makan Memok, sudah ada disana Tan Sri Samad Idris, Encik Muhammad Darus, Bapak Drs. Dasril Munir, Bapak Ir. Aswan Basri dan seorang pegawai dari Kantor Gubernur Sumbar, saya dapati mereka sedang menikmati makanan spesifik Silungkang berupa ale-ale, “Assalamu’alaikum” kata saya yang baru saja muncul dihadapan mereka. “Waalaikummussalam”, jawab mereka serentak. Saya menyalami satu persatu dan duduk serta minum bersama mereka. Setelah selesai minum barulah Tan Sri Samad Idris memulai pembicaraannya. “Pak Djasril ! Kami minta maaf karena sudah terlambat datang ke sini, bukan apa-apa, kami harus bermusyawarah ke segala pihak sehingga memerlukan waktu yang lama, barulah hari ini saya sampai di Silungkang. Begini Pak Djasril, kami sudah mempersiapkan ruangan kosong untuk peragaan tenun, di Muzium Diraja Seri Menanti, dan kami juga telah menyediakan 2 buah rumah untuk Bapak dan anggota Bapak, untuk pertama kali, Bapak berangkat satu orang dulu, untuk memasang alat tenun, menata ruang, mempersiapkan segala sesuatu di rumah tempat tinggal, karena rumah tersebut kosong, tanpa perabot. Kami sudah sediakan satu tiket pesawat untuk Bapak berangkat tanggal 6 Oktober 1998 jam 12.55 siang”. Kata Tan Sri menerangkan secara pelan-pelan karena harus menyesuaikan penyampaian menurut bahasa dan logat Indonesia. “Terima kasih Pak” kata saya, “Tapi saya ada usul ni Pak, karena memasang alat tenun itu susah dikerjakan satu orang, saya mengusulkan untuk pertama kali diberangkatkan 2 orang” kata saya memohon. “Baiklah, saya setuju” kata Tan Sri Samad Idris sambil memberi tahu Encik Muhammad Darus supaya membeli satu tiket lagi. “Atas nama siapa ?” tanya Encik Muhammad Darus. “Atas nama Yusben” kata saya. Kami rasa percakapan sudah selesai dan maksud kedatangan Tan Sri dan Encik Mad sudah bisa dipahami. “Kini apo acara lai” (Kini apa acara lain) kata Drs. Dasril Munir kepada saya, “Katompek si Au Wak makan nasi soto”, lanjutnya (Ketempat si Au Wak makan nasi soto). “Jadi” jawab saya. Maka berangkatlah kami seluruhnya ke Air Dingin Muarokalaban. Saya duduk berhadap-hadapan dengan Encik Mad Darus, sambil akan nasi soto, Encik Mad Darus berkata, “Apa nama yang kita makan ni, sedapnya”. “Ini namanya nasi soto” jawab saya. “Saya heran”, kata Encik Mad Darus, “Alam disini sama sangat dengan alam di Negeri Sembilan, berbukit bakau, sungai yang berbatu, orang punya cakap pun hampir sama”, tambahnya. Saya hanya diam saja sambil tersenyum mendengar ucapan Encik Mad Darus itu. Selesai makan kami kembali naik mobil, saya dan Bapak Dasril Munir beserta Ir. Aswan Basri satu mobil dan Tan Sri bersama Encik Mad Darus beserta seorang pegawai Kantor Gubernur Sumbar dengan mobil Pemda Tk. I Sumbar, karena mereka langsung saja menuju Padang.
Di rumah, segala percakapan saya dengan Tan Sri dibeberkan kepada isteri saya, nampaknya isteri saya menyetujui “Poi ka Malaysia, mundur jadi calon Kepala Desa” (pergi ke Malaysia, mundur jadi calon Kepala Desa), terbukti isteri saya mempersiapkan segala sesuatu keperluan saya dalam rangka keberangkatan saya 4 hari lagi.
Malamnya, mata saya susah untuk tidur, saya mempersiapkan mental menghadapi keberangkatan dan menjiwai pekerjaan yang akan dilaksanakan. Memang tidak mudah menukar persiapan mental dari “Siap jadi Kepala Desa” kepada “Siap bekerja di Malaysia” dalam jangka waktu pendek.
Yang tak kalah menganggu pikiran saya adalah “naik pesawat, seumur hidup saya belum pernah naik pesawat, saya hanya pernah naik kendaraan darat dan laut, seperti pedati, bendi, sepeda, motor, mobil, kereta api dan kapal laut. Disatu sisi saya ingin mencoba naik pesawat karena belum pernah, disisi lain saya ngeri, “sadang mamanjek batang patukai jo ngori tughun, basah tapak kaki dek nyo” (sedang memanjat batang pepaya saja ngeri turun, basah tapak kaki karenanya), apalagi naik pesawat yang melayang-layang tinggi diudara ”ndak tontu kamano ka malompek” (tidak tentu kemana akan melompat).
Segala persiapan pribadi diselenggarakan oleh isteri saya, dan segala persiapan barang-barang peralatan tenun yang akan dibawa diselenggarakan oleh Bapak Drs. Dasril Munir dan Ir. Aswan Basri, sedangkan saya mengurus segala surat-surat serta pamit kepada Bapak Camat, Bapak Kabag Tapem, Bapak Walikota dan rekan-rekan Kepala Desa.
Hari Selasa, 6 Oktober 1998, jam 9,00 pagi saya berangkat dari Silungkang dengan mobil pribadi Ir. Aswan Basri yang sebelumnya telah dimuat dengan barang-barang alat tenun, sampai di Bandara Tabing pukul 11.00 siang sedangkan pesawat berangkat pukul 12.55 siang, sebelum berangkat saya, Sdr. Yusben dan Encik Mad Darus sempat makan siang terlebih dahulu di Kompleks Bandara Tabing. Dan tak lama kemudian tibalah saatnya menuju pesawat yang akan menerbangkan kami ke Malaysia, saya berjalan antri menuju tangga pesawat dengan “Jantuang badobak-dobak” (jantung berdebar-debar), setibanya diatas pesawat langsung duduk dikursi dan “ndak lupo mamasang tali pangobek badan” (tidak lupa memasang tali pengikat badan).
Mula-mula memang apa yang saya kuatirkan terjadi, ngeri, tapi tidak berlangsung lama, perasaan saya berangsur-angsur normal kembali hanya 1 jam 20 menit, pesawat mendarat di Lapangan Terbang Sultan Ismail, Johor Bahru Malaysia, kami turun dari pesawat, disana kami telah ditunggu oleh seorang petugas Lapangan Terbang yang nampaknya sudah tahu akan kedatangan kami, kami diberi masing-masing 1 tiket lagi atas nama kami dan terus naik ke pesawat yang sama menuju Kualalumpur.
Lama saya berpikir, kenapa di Johor Bahru kami diberi lagi tiket pesawat, sedangkan pesawatnya itu juga, kenapa tidak langsung saja tiket Padang – Kualalumpur, kenapa diberi lagi tiket Johor Bahru – Kualalumpur.
Kemudian barulah saya tahu adanya perjanjian SIJORI (Singapura – Johor – Riau) mengenai bebas fiscal. Kalau dibeli tiket Padang – Kualalumpur dikenakan fiscal (menurut peraturan di waktu itu, Pen).
Lebih kurang 50 menit, pesawat mendarat di Lapangan Terbang Sultan Abdul Aziz Shah, Subang. Disana kami sudah ditunggu oleh 3 orang dengan sebuah mobil yang ditugaskan khusus menjemput kami, dengan sangat ramahnya kami disalami dan dipersilahkan naik ke atas mobil dan terus kami diberangkatan menuju Bandar (kota) Seremban, Negeri Sembilan.
Di dalam perjalanan tidak banyak kami bercakap-cakap, hanya sekali-sekali ada juga yang perlu ditanyakan, kalau tidak kami yang bertanya dia yang bertanya.
Saya asyik memandang kiri kanan jalan, disebabkan kami lewat jalan tol, jarang kelihatan daerah pemukiman, yang ada hanya hamparan kebun kelapa sawit, ditengah perjalanan kami singgah di kawasan Jamu Selera untuk mengisi perut yang mulai lapar, golang golang (usus) saya mulai mencicipi masakan Malaysia.
Bandar (kota) Seremban mulai kami masuki pukul 20.00 malam, mobil berhenti sejenak, salah seorang dari orang menjemput kami itu turun dan menuju sebuah Plaza, tak lama dia kembali dan menyerahkan kepada kami masing-masing 1 tas plastik yang isinya baju kaus dan selimut, “Terima kasih ncik” kata saya singkat, “Terima kasih kembali, tak pe, tu semua untuk awak (anda)”, jawabnya.
Selanjutnya mobil terus melaju menuju Seri Menanti, lebih kurang 33 km dari Bandar Seremban, Seri Menanti adalah suatu kawasan dimana terletak Istana Besar Raja Negeri Sembilan. Kami telah disediakan sebuah kamar di Hotel Seri Menanti Resort yang terletak diantara Istana Besar Raja Negeri Sembilan dengan Istana Lama Muzium Diraja Seri Menanti.
Pagi-pagi kami sudah bangun, setelah mandi dan shalat subuh, snack untuk sarapan pagi sudah tersedia berupa nasi lemak dan roti canai, ini juga adalah pengalaman pertama untuk golang golang (usus) saya menerima sarapan seperti itu.
Pukul 10.00 pagi kami dijemput oleh seorang pegawai Muzium untuk pergi ke Seremban menemui Kurator (Kepala) Lembaga Muzium Negeri, Negeri Sembilan. Sesampainya kami di Seremban kami dibawa ke sebuah bangunan bergonjong persis seperti rumah bergonjong di Minangkabau dan langsung ke ruang kerja Kurator, di pintu ruang kerja itu tertulis nama Kurator Muzium tersebut : Drs. Shamsudin bin Ahmad. Kami diterima dengan ramah dan gembira, saya melihat wajahnya yang berseri, menandakan suatu kebahagiaan tersendiri menerima kedatangan kami. Kami dipersilahkan duduk di kursi tamu dan kami bercakap-cakap, tukar pikiran, berbagi pengalaman. Ternyata Drs. Shamsudin bin Ahmad sangat bisa berbahasa Indonesia, katanya dia dulu sekolah di Bali sampai mendapat gelar sarjana. Kemudian kami diberi wejangan atau arahan-arahan mengenai pekerjaan serta tata cara hidup di Malaysia, “Bapak sangat beruntung sekali” kata Encik Din (nama akrab Drs. Shamsudin bin Ahmad), “Karena baru pertama kali Kerajaan Malaysia mengambil pekerja asing dengan biaya Kerajaan (pemerintah) semua diuruskan oleh Kerajaan. Bapak dipersamakan (hak dan kewajiban) dengan Kaki Tangan Kerajaan (pegawai negeri) lainnya, disamping gaji pokok Bapak juga akan menerima bonus lainnya seperti gaji lebih masa (lembur), biaya perumahan, perubatan (Askes), pakaian seragam kerja, studi banding dan lain-lainnya. Bapak akan menerima gaji setiap bulannya melalui Bank Simpanan Nasional. Jawatan (jabatan) Bapak sangat spesial, karena sebelumnya jawatan ini belum ada, pekerjaan yang akan Bapak kerjakan disini langsung Bapak bawa dari Indonesia dan menguntungkan bagi menarik pelancong-pelancong di Malaysia ini. Untuk satu bulan ini minum makan Bapak ditanggung oleh Kerajaan, karena biasanya gaji boleh diambil paling cepat 28 hari bulan (tanggal 28) tiap bulannya. Mulai Bapak menjejakkan kaki di Malaysia ini, gaji Bapak sudah dihitung. Untuk satu minggu pertama ini Bapak tak usah kerja dulu karena Bapak akan kami bawa jalan-jalan melihat lingkungan. Mengenai peraturan-peraturan kerja nanti akan kami beri secara tertulis, disini semua peraturan berlaku (dijalankan) dengan kesadaran sendiri tanpa dikontrol langsung …
Setelah kami diberi arahan panjang lebar, kami diperkenalkan dengan pegawai lainnya, mereka menyalami kami dengan ramah, kami sudah dianggap oleh mereka teman sekerja.
BAGIAN KETIGA
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia
Di Muzium Diraja Seri Menanti kami disediakan sebuah kamar lengkap dengan perabotnya, peralatan memasak tidak diberikan karena minum makan kami disediakan oleh Kerajaan melalui Sdr. Mazrin yang juga sebagai pekerja di Muzium tersebut, dan kemudian Sdr. Mazrin kami ketahui adalah anak seorang anggota Polis yang tinggal di Barak Polis (Asrama Polisi) Seri Menanti.
Kami diantarkan nasi setiap pagi, tengah hari dan sore, mula-mula golang golang saya memang agak babaso menerima nasi tersebut karena sambalnya masakan khas Malaysia, sedangkan golang-golang saya sudah akrab dengan joghiang balamun jo lado giliang matah pakai minyak tanak sambia meanggotok agho, tapi lama kelamaan karena terpaksa golang-golang saya setuju juga, daghi pado ndak makan, mano nan elok.
Setiap pagi setelah makan pagi, kami harus stand by, karena kami akan dibawa raun sabolik selama satu minggu, mula-mula sekitar kawasan Seri Menanti dan terus ke Kuala Pilah, dilain hari ke Seremban dan Kualalumpur. Teristimewa di Kualalumpur ini kami dibawa ke Pasar Seni, semacam Plaza yang sarat dengan bermacam-macam barang soUvenir dari berbagai daerah di Malaysia.
Selama satu minggu kami dibawa raun sabolik, banyak sekali kesan yang tersimpan didalam memori saya dan Insya Allah memori saya tersebut sampai sekarang lai ndak konai virus do.
Disuatu sore, Encik Din (panggilan akrab Drs. Shamsudin bin Ahmad) Kurator (Kepala) Lembaga Muzium Negeri, Negeri Sembilan, datang mengunjungi kami.
Pak Djasril, kite tengoklah rumah tempat tinggal tu, dan lame tak ade orang menghuni rumah tu, tentu dah banyak habuk, kite bersihkan, karena esok pagi perabot sampai”, kata Encik Din seraya membuka pintu mobil dan mempersilahkan naik. “Okey”, jawab saya meniru cara mengucapkan baiklah di Malaysia. Lebih kurang 750 meter dari Muzium Diraja, sampailah kami di rumah tersebut. “Kawasan ni bername Kampong Bukit Tempurong” kata Encik Din. “Ni, ade due rumah, pandai Pak Djasril-lah macam mane mau”, ucapnya lagi. “Kalau macam tu okey lah, dan Encik Din kami persilahkan balik dulu, biarlah kami sahaja yang membersihkan”, jawab saya sambil meniru cara berbicara di Malaysia walaupun lidah saya masih menempel merek Indonesia.
Seri Menanti adalah sebuah kawasan yang disebut Pekan (Kota Kecil) kira-kira sama dengan Nagori di kampung kita, dan juga disebut “Royal Town of Seri Menanti” karena disini berdiri dengan megahnya Istana Besar Raja Negeri Sembilan dan juga masih kokohnya berdiri Istana Lama yang sekarang dijadikan Muzium Diraja.
Alam disini berbukit-bukit, keadaannya masih asri, hutannya terpelihara baik, suasana tenang, aman dan damai, jauh dari kebisingan, udaranya segar tanpa polusi, margasatwa hidup dengan riang dan merdeka tanpa ada tangan jahil yang menganggu dan merusak, bermacam-macam burung berterbangan dengan leluasa dan hinggap tanpa kuatir diganggu orang. Penduduknya hidup bahagia dan sejahtera, rukun sesamanya, ramah dan sopan. Suasana di Seri Menanti tak ubahnya dengan suasana di perkampungan (dusun), bukan suasana di kota yang dilanda kehidupan modern. Upacara adat dipusatkan disini, penduduk di Seri Menanti ini tidak seberapa dan kelihatan lengang dan sunyi karena sebagian penduduknya ada yang tinggal di Seremban, Kualalumpur, dan lain-lain, tetapi kalau ada upacara adat dan keramaian, misalnya PERINGATAN HARI KEPUTERAAN BAGINDA (memperingati hari ulang tahun kelahiran Raja), Seri Menanti penuh dengan pengunjung dari segala penjuru, keramaian diadakan tiga hari tiga malam, bermacam-macam hiburan tradisional dan modern dapat dinikmati, para pedagang pun ramai, kita dapat berbelanja apa saja sepuasnay asal uang ada.
Pada hari Jum’at tanggal 16 Oktober 1998, saya Shalat Fardhu Jum’at di Masjid Diraja Seri Menanti, saya lihat Tuanku Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan juga Shalat Fardhu Jum’at disana. Tuanku sangat akrab dengan rakyat, dan rakyatpun juga sangat hormat kepada Tuanku. Baru saja Tuanku memasuki Masjid, rakyat yang berada di dalam Masjid menyusun jari sepuluh, menyalami Tuanku sambil mencium tangannya, sedangkan Tuanku tersenyum sayang, saya lihat diwajah Tuanku terpancar sinar keagungan sebagai seorang RAJA, kepada yang tidak terjangkau bersalaman, Tuanku mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum sayang, mata bersinar, wajah yang jernih.
Tuanku Jaafar Ibni Tuanku Abdul Rahman, demikian nama Tuanku, adalah keturunan Raja dari Pagaruyung – Minangkabau. Seorang Putera Raja Pagaruyung yang bernama Sultan Mahmud dijemput oleh Pemuka Adat Negeri Sembilan untuk dijadikan Raja. Setelah dinobatkan jadi Raja Negeri Sembilan, Sultan Mahmud dikenal dengan nama Raja Melewar.
Raja Melewar adalah Raja Negeri Sembilan yang pertama 1773 – 1795, sedangkan Tuanku Jaafar Ibni Tuanku Abdul Rahman adalah Raja Negeri Sembilan yang kesebelas 1967 – sekarang.
Tepat pukul 16.00 petang, pada hari Selasa 20 Oktober 1998, seorang pegawai Muzium menjemput kami, “Encik dipelawe untuk datang menghadiri jamuan minum ke rumah Encik wan di Seremban, kite berangkat sekarang juge”, katanya. “Ya, Okey”, jawab saya singkat. Kami naik mobil L-300, dan saya lihat pegawai Muzium lainnya sebanyak 4 orang juga sudah berada di atas mobil.
Encik Wan atau nama lengkapnya Wan Abdullah bin Haji Wan Su, Ketua Penolong Setia Usaa Kerajaan, dikatakan bahwa beliau adalah orang nomor tiga di Kantor Menteri Besar Negeri Sembilan (kira-kira sama dengan Kantor Gubernur di Indonesia), sebelumnya saya sudah kenal dengan beliau sewaktu beliau ke Silungkang pada tanggal 1 Mei 1998 yang lalu dan saya juga sering terlibat dalam percakapan melalui telepon dengan beliau.
Jemput masuk, jemput masuk” kata Encik Wan, sewaktu kami baru saja turun dari mobil di halaman rumah yang kelihatannya sangat bagus bangunannya. “Saye baru sahaje pindah ke rumah ni”, kata Encik Wan yang katanya beliau berasal dari Negeri Kelantan dan sudah lama menetap dan bekerja di Negeri Sembilan. Setelah puas minum dan bercakap-cakap, kami pulang dan diantar kembali ke Seri Menanti.
Saya berusaha dekat dengan penduduk Seri Menanti, sambil memperkenalkan diri, saya juga mempelajari bahasa dan ungkapan sebagai persiapan tinggal di Seri Menanti. Tan Sri Samad Idris sekali seminggu datang ketempat kami, menanyakan keadaan kami, beliau sangat akrab dengan saya. Pada hari Minggu tanggal 25 Oktober 1998, Tan Sri datang membawa dua orang teman beliau PENSYARAH (dosen) pada sebuah universitas di Kualalumpur dan memperkenalkan kepada saya, kami bercakap-cakap sambil minum di kantin Seri Menanti Resort. Dalam percakapan ini saya juga memberitahukan kepada Tan Sri bahwa di Kualalumpur juga ada orang Silungkang jadi Pensyarah yaitu Prof. Umar Yunus dan Prof. Kasmini Kasim. Dengan penuh keheranan Tan Sri berkata : “Oh .. jadi Umar Yunus dan Kasmini Kasim itu orang Silungkang kah, dia sering ke tempat saya, biar nanti saya bagi tahu dia bahwa orang Silungkang juga ada bertenun kain di Seri Menanti”.
Setelah kami puas bercakap-cakap, sebelum Tan Sri kembali ke Kualalumpur, beliau berkata : “Pak Djasril, habis bulan Oktober ini kita akan pergi ke Padang untuk menjemput barang-barang yang masih tinggal dan sekaligus menjemput keluarga Pak Djasril”.
Kata-kata Tan Sri yang terakhir ini yang sangat membahagiakan saya, karena hampir sebulan saya menderita menahan rindu pada isteri dan anak-anak, kali ini adalah saat yang paling terlama kami terpisah, biasanya hanya satu atau dua hari saja. Bila saya rindu, saya beli kartu telepon 10 ringgit atau 20 ringgit dan saya dapat berbicara langsung melalui telepon umum di tepi jalan. Apabila anak saya mengatakan “copeklah baliak (cepat balik) Pak”, tenggorokan saya rasa tersekang menahan tangis, kenapa begitu ? Entahlah, orang bisa berahun-tahun terpisah, kenapa saya tidak ? Entahlah.
Pada hari Kamis tanggal 29 Oktober 1998, disore hari, saya sedang bagolek-golek (istirahat), datang Mazrin, “Pak, ada talipon dari Seremban”. Saya langsung mengikuti Mazrin menuju OPIS (kantor), telepon saya angkat, “Hallo, apa hal Encik Din ?”, kata saya. “Hari Minggu, 1 hari bulan November, Pak Djasril berangkat ke Silungkang untuk mengambil barang kita yang masih tertinggal dan sekaligus menjemput keluarga Pak Djasril, perlu diingat keberangkatan Pak Djasril ke Silungkang adalah sebagai pegawai Muzium, pagi esok datang ke Seremban mengambil gaji dan ongkos ke Silungkang, okey …”.
“Okey”, jawab saya singkat. Keesokan harinya saya pergi ke Seremban, dari Seri Menanti ke Kuala Pilah naik KERETA SEWA (oplet), dan dari Kuala Pilah ke Seremban naik BAS (bus).
Pukul 06.00 pagi waktu Malaysia Barat, tanggal 1 Nopember 1998, sebuah KERETA (sedan) parkir di halaman Muzium menjemput saya, saya pun juga sudah siap berangkat. Kereta melaju menuju Kualalumpur dan terus ke Lapangan Terbang Sultan Abdul Aziz Shah, Subang (diwaktu itu belum ada KLIA = Kualalumpur International Airport, dan di Padang juga belum ada MIA = Minangkabau International Airport). Setiba di Lapangan Terbang saya langsung antri membeli tiket pesawat menuju Padang dan tak lupa sebagian dari uang Ringgit, saya tukar dengan Rupiah.
Setelah melayang-layang di udara lebih kurang 2 jam pesawat mendarat di Bandara Tabing. Pertama sekali saya menuju rumah makan, saya makan dengan lahapnya, duo kali tambuah, maklumlah sudah satu bulan golang-golang saya absen menerima masakan Padang. Selesai makan saya menuju wartel untuk memberitahu ke Silungkang bahwa saya sudah sampai di Padang. Saya ingin cepat saja sampai di Silungkang, saya ambil jalan alternatif, naik taksi saja biar cepat, kalau dengan bus lambat. Menjelang sore saya sudah sampai di rumah, yaitu di Lubuak Kubang, Desa Silungkang Oso. Tidak ada oleh-oleh dari Malaysia, yang ada hanya oleh-oleh dari Padang berupa makanan ringan.
Anak saya yang kecil berumur 4 tahun berlari-lari menyambut saya, “Bapak lah baliak (balik) Ma …”, katanya memberitahu Mamanya. Saya dukung dan saya cium anak saya itu, “Tadogak (teringat) Bapak nak …”, kata saya singkat.
BAGIAN KEEMPAT
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.
Saya punya catatan mengenai alat-alat tenun yang akan dibawa ke Malaysia, sebagian alat yang kecil-kecil langsung dipesan seperti locuik locuik, tughak, sikoci, sikek, buluah tughiang, balobe, juaran panjang, juaran singkek, lidi onau, kakolong, tali putiah, sedangkan palantai juga dipesan yaitu palantai ATBM dan palantai gedokan.
Untuk memesan dan mengurus alat-alat tersebut saya serahkan kepada isteri saya, dan disamping itu saya juga sibuk mengurus surat pindah sekolah anak saya di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah untuk pindah ke salah satu Sekolah Rendah (SR) di Malaysia. Anak saya yang paling tua kelas 5 SD, yang nomor dua kelas 3 SD, sedangkan yang kecil belum sekolah lagi karena baru berumur 4 tahun.
Pada tanggal 5 Nopember 1998, pagi itu saya sedang duduk disebuah bangku didepan Kantor Desa Silungkang Oso. “Pak, ado talepon”, kata salah seorang perangkat Desa. “Terima kasih”, jawab saya sambil langsung menuju gagang telepon yang masih tergeletak diatas meja. “Hallo, Assalamu’alaikum”, kata saya. “Wa’alaikumussalam, saye Cik Din, saye dah ade kat Padang, saye menginap kat Pangeran Hotel, macam ni Pak Djasril, esok pagi Pak Djasril datanglah ke Pangeran Hotel Padang bilik nomor 125 untuk ambik duit pembayar alat tenun dan ongkos balik ke Malaysia, sekalian duit bagi ongkos 2 orang pengrajin lagi, boleh paham tak ape yang saye cakap ni ?”. “Ya Cik Din saya paham, besok pagi saya berangkat ke Padang,” jawab saya.
Rupanya Cik Din (Drs. Shamsudin bin Ahmad) Kurator Lembaga Muzium Negeri Sembilan, sudah berada di Padang mengiringi kepergian saya ke Silungkang, saya sudah dianggap sebagai pegawai Muzium yang sedang melaksanakan tugas kerajaan di luar negeri, keselamatan saya adalah tanggung jawab kerajaan (pemerintah), demikian keterangan yang saya perdapat kemudian.
Siangnya saya temui seorang teman, Pak Idris, salah seorang guru di SD 013 Sungai Cacang, Silungkang Oso, dia ada punya mobil carry, saya minta dia untuk bersedia pergi ke Padang besok pagi mengantar saya ke Pangerang Hotel Padang, Pak Idris bersedia, karena bangku mobil banyak kosong, isteri dan anak-anak saya bawa.
Pada tanggal 6 Nopember 1998, pukul 08.00 pagi, saya sekeluarga dan Pak Idris yang langsung sebagai sopir mobilnya berangkat ke Padang, di Padang terus ke Pangeran Hotel. “Pak Idris, nanti sabonta disiko di, ambo tomui sabonta ughang Malaysia tu”, kata saya, setelah mobil Pak Idris parkir di Pangeran Hotel. “Jadi Pak”, jawab Pak Idris. Pak Idris dan keluarga saya menunggu di mobil, saya langsung ke tempat Receptionis, “Selamat siang Pak, apa yang bisa kami bantu”, tegur salah seorang yang berada di Receptionis itu. “Selamat siang, saya ingin menemui Shamsudin bin Ahmad, kamar nomor 125”, kata saya. “Sebentar ya Pak”, katanya lagi sambil menelepon ke kamar nomor 125 memberi tahu bahwa ada tamu yang ingin bertemu.
Tidak lama kemudian Cik Din muncul. “Seorang aje Pak Djasril ke sini ?”, tanya Cik Din sambil menyalami saya. Saya kesini sekeluarga dengan mobil teman”, jawab saya. Jom … (ayoh) kite pigi makan dulu”, kata Cik Din sambil barengan dengan saya menuju mobil Pak Idris. “Pak Idris ka rumah makan wak”, kata saya. “Jadi”, jawab Pak Idris. Di rumah makan kami duduk semeja dan terhidanglah bermacam-macam lauk pauknya. Saya perhatikan Cik Din memesan gulai tunjang sampai dua piring, nasi patambuhannya pun bertubi-tubi, kami heran juga melihat godang saleghonya (besar seleranya). Sambil makan dia berkata : “Saye kalau ke Padang, inilah yang tak tahan, saye suke masak Padang”. Selesai makan yang ditraktir Din itu kami kembali ke hotel di mana Cik Din menginap, saya dibawah ke kamar Cik Din, sementara Pak Idris dan keluarga saya menunggu di mobil. Lagi-lagi pengalaman baru bagi saya yaitu naik lift, karena kamar Cik Din berada di lantai tiga. Sampai di kamar Cik Din, diserahkanlah uang kepada saya sebanyak tiga setengah juta rupiah guna pembeli alat-alat tenun dan ongkos. “Nanti Pak Djasril balik ikut Dumai, di Silungkang Pak Djasril cari mobil angkut barang, macam mane terserah Pak Djasril-lah, sampai di Dumai nanti Pak Djasril terus ke Hotel Garuda, disane sudah ade yang menunggu, Datok Ismail beserta isteri yang akan pigi same ke Melaka”, kata Cik Din, “Ya, baiklah”, jawab saya singkat.
Kemudian setelah segalanya selesai, saya pamit, tapi sungguh malang bagi saya, saya tidak pandai cara turun dengan lift, pintu tangga ke bawah pun tidak nampak oleh saya, saya kembali ke kamar Cik Din dan minta tolong antarkan ke bawah, barulah saya selamat sampai di bawah (lantai dasar). Karena malu, saya tidak mau menceritakan kebodohan saya ini kepada orang, barulah sekarang saya ceritakan kepada anda, tapi janganlah disampaikan pula kepada orang lain.
Pada tanggal 8 Nopember 1998, jam 20.00 malam, segala alat-alat yang akan dibawa ke Malaysia telah siap, direncanakan besok 9 Nopember 1998, jam 10.00 pagi akan berangkat ke Dumai, sedangkan mobil angkutan barang dan mobil penumpang sudah disiapkan. Di pagi hari itu, 9 Nopember 1998, masyarakat ramai melepaskan kepergian saya sekeluarga, sungguh suatu penghormatan rasanya bagi saya, diwajah mereka kelihatan rasa simpati terhadap saya. Disisi lain ada suatu pemandangan yang menyedihkan dan mengharukan sekali terhadap diri saya ialah sewaktu saya melihat isteri saya bertangisan memeluk ibunya yang tidak bisa melihat karena diakibatkan penyakit diabetes yang dideritanya, dipeluknya ibunya erat-erat sambil keduanya bertangisan, entah akan bertemu lagi entah tidak, wallahu alam, hanya Allah yang tahu, orang tua isteri saya keduanya ditinggalkan dalam keadaan sakit, bapaknya tidak ikut melepas kepergian kami, beliau tinggal dirumah seorang diri, hanyut dengan kesedihan tersendiri. Tepat pukul 10.00 pagi, tibalah saatnya bagi kami meninggalkan Silungkang menuju Dumai dan untuk terus menyeberangi Selat Melaka.
Pada subuh hari, 10 Nopember 1998, kami sampai di Dumai, kami berkeliling-keliling mencari Hotel Garuda, setelah bertemu dan matahari mulai terbit, saya sekeluarga turun disana dan langsung disambut oleh Datok Ismail beserta isteri, sedangkan mobil angkutan barang langsung ke pelabuhan untuk membongkar barang dan dinaikkan ke kapal barang. Di hotel kami disediakan sebuah kamar, pertama sekali kami istirahat, karena diatas mobil tidak puas tidur, jam 10.00 kami sudah selesai istirahat dan mandi. Kami keluar menuju rumah makan, selesai makan, selesai makan saya dan keluarga kembali ke Hotel, saya menemui Datok Ismail, rupanya Datok Ismail juga baru saja menguruskan tiket Ferry Indomal untuk kami, sebuah Ferry yang akan berangkat ke Melaka pukul 14.00 siang.
Sebelum Ferry yang kami tumpangi berangkat, Datok Ismail menelepon ke Seremban yang mengatakan bahwa Ferry berangkat tepat pukul 14.00 supaya ditunggu di Jeti (Pelabuhan Melaka). Tak lama kemudian bertolaklah Ferry Indomal yang kami tumpangi, mula-mula menelusuri pantai ke arah utara kemudian barulah menyeberang Selat Melaka, ada lebih kurang empat jam, kelihatanlah gedung-gedung bertingkat Bandar Melaka.
Ferry merapat ke pelabuhan, kami turun satu persatu. Di pelabuhan sebuah mobil kerajaan telah menanti kami, mobil kerajaan (kalau di Indonesia mobil plat merah) platnya hitam, tetapi disamping platnya itu ada lambang Kerajaan Negeri (propinsi).
Kota Melaka adalah kota bersejarah, kami lalui saja, dari atas mobil kami melihat bangunan peninggalan zaman penjajahan Portugis dan objek-objek wisata lainnya, mobil terus melaju menuju Seremban dan hari pun mulai senja. Di Seremban kami tidak ada singgah, kami terus saja dibawa ke Seri Menanti, tepat pukul 21.00 malam waktu Malaysia Barat kami sampai di rumah yaitu di Kampong Bukit Tempurong Seri Menanti.
Lebih kurang satu minggu kami diantarkan nasi kotak, karena saya harus membeli alat-alat dapur seperti kompor, periuk, kuali dan lain-lainnya, juga tak kalah pentingnya saya dan isteri saya harus mempelajari nama barang keperluan sehari-hari, sebab banyak juga perbedaannya, misalnya kompor disebut dapur, kompor gas disebut dapur ges, api disebut mencis, bumbu disebut perencah, kemiri atau damar disebut buah keras, seledri disebut daun sup, lobak disebut kobis, dan banyak lagi yang harus dipelajari, kadang-kadang harus ditunjuk barang yang akan dibeli itu dan langsung ditanya namanya untuk menambah perbendaharaan kata-kata.
Anak-anak saya sengaja dibiarkan bergaul dengan anak-anak tempatan, tidak memerlukan waktu yang lama, mereka kelihatan akrab dan anak-anak saya pun sudah mulai berbahasa Malaysia, tetapi di rumah tetap kecek Silungkang, tetapi anak saya yang kecil, walaupun bagaimana kami berbahasa Silungkang dia tetap menjawab kata-kata kami dengan bahasa Malaysia, sehingga ada seorang tua mengatakan : “Wah … ni bukan anak Indonesia, ni anak Malaysia, tak de pun dia cakap Indonesia, kalau dah besar nak jadi ape”, tanya orang tua itu kepada anak saya. “Wah, kecik-kecik dah tahu nak bela negare”, kata orang tua itu sambil membela rambut anak saya itu.
BAGIAN KELIMA
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.
Ada lebih dari kurang satu minggu, kami men-stel palantai serta mengatur tata ruang tempat kami bekerja. Palantai ATBM dua buah dan Palantai Gedokan dua buah, jadi kami memproduksi kain sarung dua bidang dan kain songket. Ruangan tempat kami bekerja ditata rapi, beralaskan tikar rotan dan berdinding setengan tiang yang terbuat dari rotan anyaman. Dipintu tempat masuk tertulis “Sila Buka Kasut” artinya silahkan membuka sepatu/sandal, dan setiap palantai juga tertulis “Jangan Sentuh” artinya jangan dipegang. Kami diarahkan supaya menenun kain hanya bila pengunjung ada. Jika pengunjung tidak ada kami tidak menenun, tetapi tetap berada ditempat, kami harus mengikuti kebiasaan pegawai Malaysia lainnya yaitu “Disiplin”, masuk tepat waktu, keluar pun tepat waktu. Setiap masuk kerja dan keluar kerja kami harus memasukkan kartu kehadiran ke mesin absensi sehingga tercetaklah jam masuk dan jam keluar pada kartu tersebut. Saya sudah agak merasa lega karena ketetapan kerja sudah ada, saya bertenun ATBM yang menghasilkan kain sarung dua bidang, sedangkan istri saya bertenun songket, demikianlah kerja kami sehari-hari, tetapi guna untuk menambah pengetahuan dan menambah pergaulan sekali-kali saya memfungsikan diri saya untuk menanti pelancong (pengunjung) yang ingin melihat barang peninggalan sejarah yang ada di Muzim Diraja tersebut, disamping itu saya juga berkesempatan mempelajari sejarah hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan serta sejarah Negeri Sembilan itu sendiri. Diantara pengunjung yang datang, saya ada berkenalan dengan Datok Batin yaitu seorang Kepala Suku Biduanda (orang asli Negeri Sembilan), dalam percakapan dengannya saya banyak mendapat pengetahuan mengenai orang asli Negeri Sembilan yang terdiri dari orang Semang, Sakai dan Jakun yang telah berkawin campur (semenda menyemenda) dengan pendatang dari Minangkabau. Pada suatu ketika saya juga sempat menghadiri Seminar Adat Perpatih yang diselenggarakan oleh pemuka-pemuka Adat Negeri Sembilan dan dikesempatan lain saya juga sempat itu sebagai “Urus Setia” (Panitia) Pesta Adat Persukuan yang diadakan oleh 12 suku yang ada di Negeri Sembilan. Nama-nama suku yang dua belas itu adalah sebagai berikut :
- Batu Hampar
- Tanah Datar
- Seri Lemak Pahang
- Seri Lemak Minangkabau
- Mungka
- Payakumbuh
- Seri Malanggang
- Tigo Batu
- Biduanda
- Tigo Nenek
- Anak Aceh
- Batu Belang
Untuk ketenangan bekerja telah ada bagi saya, kini saya pindah lagi memikirkan anak-anak saya yang akan bersekolah, menurut perjanjian semula seluruh pengurusan sekolah anak-anak saya ditanggung oleh Muzium (yaitu pegawai Muzium orang Malaysia).
Bulan Desember adalah hari libur sekolah karena baru saja “naik derjah” (naik kelas). Ini satu perbedaan, kalau di Indonesia naik kelas bulan Juni dan tahun ajaran baru bulan Juli, sedangkan di Malaysia naik derjah bulan Desember dan tahun ajaran baru pada bulan Januari.
Pada tanggal 2 Januari 1999 libur sekolah telah berakhir, murid-murid sudah pada mulai sekolah, sedangkan anak-anak saya belum masuk sekolah, karena beluma ada berita dari Muzium tentang pengurusan anak-anak saya, sudah 15 hari saya tunggu-tunggu beritanya namun tidak ada kabar, saya mulai gelisah, akan saya urus sendiri, saya belum tahu caranya dan juga saya kuatir pihak Muzium tersinggung. Untunglah sore itu Wakil Kurator Muzium datang ketempat saya bekerja, saya ceritakan kegelisahan saya tersebut, dan Wakil Kurator Muzium mengerti akan kegelisahan saya itu, “Baiklah, esok kite pigi ke Pejabat Pendidikan Seremban, saye ade kenal dengan salah seorang pegawai disane, Bapak bisa tanye segala persyaratan dan prosedur macam mane nak uruskan anak Bapak”. Kata Cik Mad (Mohammad Darus/Wakil Kurator Muzium).
Keesokan harinya saya dijemput oleh Cik Mad, sesampainya di Pejabat (kantor) pendidikan Seremban, saya diperkenalkan kepada pegawai yang khusus mengurus penerimaan pelajar asing, saya dibawa ke bilik kerja pegawai tersebut, disitu saya diberi keterangan mengenai prosedur yang harus saya lalui dan laksanakan, sedangkan Cik Mad tinggal diluar bercakap-cakap dengan pegawai yang dia kenal disana.
“Pertama sekali Pak Cik harus memastikan yang sekolah tempat anak Pak Cik bersekolah berkenan menerime anak Pak Cik, tentu sahaje Pak Cik jumpe dengan Guru Besar (Kepala Sekolah), kalau die berkenan menerime anak Pak Cik, die akan bagi surat rekomendasi, dan surat rekomendasi itu Pak Cik hantar kesini. Kemudian berhubung kerana anak Pak Cik ikut passport ibu, Pak Cik harus pesah passport itu, sahingga masing-masing anak Pak Cik punye pasport tersendiri, memecah passport tersebut di Kedutaan Besar Republik Indonesia Kualalumpur, nanti setelah siap passport anak-anak Pak Cik itu, bawe kesini bersamaan dengan surat rekomendasi dari Guru Besar tadi. Setelah itu kami buatkan rekomendasi dan Pak Cik bawe rekomendasi beserta passport anak-anak Pak Cik itu ke Pejabat Imigresen (kantor Imigrasi) guna dibuatkan Student’s Pass (Pas Pelajar), yang akan berkuat kuase (berlaku) selame satu tahun. Setelah anak Pak Cik punya Student’s Pass, barulah anak Pak Cik bisa diterima sekolah di Malaysia ini, sebelum punye Student’s Pass anak Pak Cik tak de hak masuk sekolah.”
Demikianlah keterangan yang saya terima dari pegawai yang khusus mengurus penerimaan pelajar asing tersebut, dan seterusnya saya mohon pamit, Cik Mad kembali mengantarkan saya pulang ke Sri Menanti.
Di rumah, lama saya termenung memikirkan panjangnya prosedur mengurus sekolah anak-anak saya, sekali-sekali terlontar nada keluhan dari lubuk hati saya, kalau dipikir-pikir untuk menjalani proses pengurusan sekolah anak-anak saya itu bisa memakan waktu dua bulan, baru anak-anak saya bisa sekolah, tentu anak-anak saya terlantar, kasihan anak-anak saya.
Besoknya saya pergi bekerja seperti biasa walau malam tadi saya susah untuk tidur karena terlalu banyak berpikir, sedang asik bekerja, kebetulan sekali muncul Tan Sri Samad Idris, “Assalamu’alaikum, ape kabar Pak Djasril ?”, kata Tan Sri sambil menyalami saya. “Wa’alaikumussalam, kabar kurang baik, saya susah hati”, jawab saya dengan nada sedih. “Hai …. ape hal, bagi tahulah saye, kalau boleh saye tolong”, kata Tan Sri lagi. Maka saya ceritakanlah segala perihal sekolah anak saya tersebut dan segala prosedurnya. “Oh … macam tu, tunggu sekejap, saye talipon Guru Besar”, kata Tan Sri seraya pergi ke bilik pejabat Muzium untuk menelepon Guru Besar Sekolah Kebangsaan Tunku Laksamana Nasir yang terletak berseberangan jalan dengan Muzium tempat saya bekerja. Hanya sedikit yang terdengar oleh saya kata-kata Tan Sri yaitu “Cik Gu (Pak Guru) terima anak-anak Pak Djasril itu dulu, surat-surat kedian (menyusul). Setelah selesai Tan Sri menelepon lalu menghampiri saya “Esok pagi, Pak Djasril hantar anak-anak ke sekolah, saye dah cakap dengan Guru Besar, kemudian uruslah surat-surat”, kata Tan Sri.
Tak dapatlah saya ceritakan disini betapa gembira dan leganya hati saya atas pertolongan Tan Sri tersebut dengan mudah anak-anak saya bisa masuk sekolah sebelum surat-surat selesai, saya tahu pengaruh Tan Sri sangat besar di Negeri Sembilan dan sangat dihormati semua kalangan, baik oleh rakyat biasa, pemerintah dan juga oleh kerabat raja-raja.
Keesokan harinya saya bawalah anak-anak saya ke Sekolah Kebangsaan Tunku Laksamana Nasir, saya disambut dengan ramah oleh Guru Besar (Kepala Sekolah), dan saya mendapat keterangan-keterangan yang saya perlukan untuk kepentingan anak-anak saya seperti dikatakan bahwa menurut peraturan bagi pelajar asing tidak disediakan Buku Bacaan tapi harus beli sendiri di Kedai Buku (Toko Buku).
Anak saya yang tua (perempuan) duduk di derjah enam sedangkan anak saya yang nomor dua (laki-laki) duduk di derjah tiga, (derjah = kelas). Guru Besar memperkenalkan anak-anak saya kepada murid-murid yang ada di sekolah itu dan murid-murid disana juga gembira menerima anak-anak saya.
Besoknya, melalui telepon saya dipanggil oleh Guru Besar karena ada sesuatu yang akan diberitahukan kepada saya, setelah saya bertemu dengan Guru Besar tersebut dia mengatakan kepada saya bahwa anak saya nomor dua (laki-laki) tidak layak duduk di derjah tiga, kembali kepala saya pusing dibuatnya, kalau tidak layak duduk di derjah tiga tentu duduk di derjah dua kembali, berarti tinggal kelas satu tahun.
Karena penasaran saya tanyakan apa alasannya tidak layak duduk di derjah tiga apa yang kurang dengan anak saya itu, maka dijawab oleh Guru Besar tersebut, “Setelah kami tengok Surat Beranak (Akta Kelahiran) anak Pak Cik, ternyata anak Pak Cik beranak (lahir) 20 Ogos (20 Agustus) jadi sudah lebih dari pertengahan tahun, maka tak layak duduk di derjah tiga, anak Pak Cik harus duduk di derjah empat. Maka mulai sekarang anak Pak Cik kami pindahkan ke derjah empat.”
Tak habis pikir saya, cerdas betul anak saya, satu hari di kelas tiga langsung naik ke kelas empat. Kemudian barulah saya tahu bahwa di Sekolah Rendah (Sekolah Dasar) derjah atau kelas disesuaikan menurut umur dan tidak ada istilah tinggal kelas, naik terus sampai kelas enam, walaupun bodoh. Kelas satu umur tujuh tahun, kelas dua umur delapan tahun, kelas tiga umur sembilan tahun begitu seterusnya.
Anak-anak saya telah mulai sekolah, besoknya saya mengisi borang (formulir) untuk mengambil cuti satu hari guna pergi ke Seremban membeli buku-buku kebutuhan anak-anak saya dengan membawa daftar buku-buku yang akan dibeli. Di Seremban saya cari Kedai Buku semacam Toko Buku Gramedia di Indonesia, di Kedai Buku itu lengkap semua, alat-alat tulis, tas, buku tulis, buku cetak. Setelah semua kebutuhan anak-anak saya itu dilengkapi, saya pergi ke counter untuk membayarnya, total semua saya bayar semua RM. 350,- (tiga ratus lima puluh ringgit), penuh satu kardus kecil untuk saya bawa pulang.
Anak-anak sudah bersekolah, peralatan sekolah sudah cukup, pakaian seragam sudah ada, sebagian dari kesulitan saya sudah teratasi, kini yang harus dipikirkan lagi mengenai surat-surat sebagai persyaratan legalnya anak-anak saya sebagai seorang pelajar di Malaysia, pertama-tama memecah passport isteri saya, yaitu sebelum ini anak-anak saya tercantum sebagai pengikut didalam passport isteri saya, jadi dibatalkan pada passport isteri saya dan dibuatkan masing-masing passport tersendiri, ini pengurusannya di Kedubes RI Kualalumpur (lebih kurang 90 km dari Seri Menanti), kemudian setelah selesai passport anak-anak saya, diurus pula Student’s Pass (Pas Pelajar) ke Pejabat Imigresen (Kantor Imigrasi) di Wisma Persekutuan Seremban.
Lalu siapa yang akan mengurus surat-surat ini semua ? Tentu saja pegawai Muzium orang Malaysia, karena ini negaranya, tentu lebih mengetahui seluk beluknya, tetapi setelah dimintakan kesediaanya tak seorangpun yang sanggup dengan alasan belum ada pengalaman dan pengetahuan mengurus surat-surat seperti ini, lagi pula susah untuk meninggalkan jam kerja disebabkan disiplin pegawai yang ketat, akan diambil jatah cuti tahunan, masing-masing mereka sudah punya program dengan hari cutinya. Lantas siapa yang akan mengurus ini semua ? Kalau ingin selesai ya .. harus saya, saya yang lebih baik tidak punya pengalaman dan pengetahuan berurusan di kantor-kantor Malaysia, saya yang baru beberapa bulan di Malaysia. Ke Kedubes RI Kualalumpur ? Alamatnya saya tidak tahu. Ke Kantor Imigrasi Malaysia ? Saya belum biasa berurusan dengna pegawai-pegawai Malaysia yang punya disiplin tinggi. Kembali kepanikan melanda diri saya, malam hari saya susah tidur, makan mulai berkurang, pikiran mulai tegang, tekanan darah mulai naik, saya berdo’a semoga Allah memberi saya ketabahan dan keimanan.
BAGIAN KEENAM
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.
Dalam ketegangan jiwa dan pikiran tersebut pertama sekali saya harus berusaha mencari jalan keluarnya, kalau tidak kesehatan saya bisa terganggu. Obat menenangkan jiwa satu-satunya adalah mengadukannya dan berserah diri kepada Allah, untuk itu saya berusaha selalu mendekatkan diri kepadaNya, berdoa supaya saya diberi kekuatan iman, kekuatan mental dan kesehatan jiwa dan raga. Saya memohon kepada Allah supaya ditunjukan jalan keluar dan supaya terhindar dari apa yang dinamakan stress.
Alhamdulillah, Allah mendengarkan dan mengabulkan doa saya, secara berangsur-angsur jiwa saya mulai tenang, rasa percaya diri kembali timbul, rasa cengeng dan pengecut hilang. Maka saya bertekad sepenuh hati untuk mengurus surat-surat sekolah anak-anak, saya akan coba mengurusnya sendiri, kalau tidak tahu caranya harus bertanya, saya ingat “malu bertanya, sesat dijalan”.
Saya isi borang (formulir) permohonan cuti satu hari, begitu juga isteri saya, kami besok pagi akan pergi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (Kedubes RI) di Kualalumpur untuk membuat paspor anak-anak saya. Pagi-pagi benar kami sudah bangun, anak-anak dibangunkan karena juga akan dibawa. Tepat pukul 06.00 pagi kami berangkat dari Seri Menanti. Untuk sampai di Kualalumpur kami tiga kali naik mobil, pertama Seri Menanti – Kuala Pilah, kedua Kuala Pilah – Seremban dan ketiga Seremban – Kualalumpur. Dari Seri Menanti ke Kualalumpur kira-kira 90 km.
Pukul 09.30 kami sampai di Kualalumpur, saya sengaja tidak turun di BAS STESEN (terminal bus), saya turun disebuah BAS STOP (halte) di tengah kota Kualalumpur supaya mudah naik taksi, kemudian saya ikut antri menunggu taksi. Setelah berada di atas taksi, derebar (sopir) taksi bertanya, “Nak kemane Ncik ?”, “Tolong hantar saya ke Kedutaan Indonesia”, jawab saya. “Okey, mudah-mudahan sahaje tak jem (macet)”, jawabnya lagi.
Hanya lebih kurang lima belas menit saya sampai di Gedung Kedubes RI, di gerbang masuk ada sebuah pos yang dijaga oleh dua orang Satpam, saya menghampirinya lalu saya katakan bahwa saya ingin masuk untuk mengurus pembuatan paspor anak-anak saya. “KTP Bapak mana?”, kata Satpam tadi. Lalu saya berikan KTP kepadanya. KTP saya disimpan disitu dan ditukar dengan sebuah kokarde untuk disematkan diatas saku kiri baju yang bertuliskan TAMU KEDUTAAN RI KUALALUMPUR. “Nanti sewaktu Bapak keluar tukarkan kembali kartu ini dengan KTP Bapak”, kata Satpam itu lagi.
Saya terus masuk ke dalam. Saya jumpai bagian konsuler untuk menanyakan prosedur pengurusan membuat paspor anak-anak saya yang sebelum ini tercantum sebagai pengikut didalam paspor ibunya. Bagian Konsuler tersebut menerangkan kepada saya cara pengurusannya dari awal sampai akhir. Mula-mulai saya pergi dulu ke Bagian Pendidikan di lantai empat meminta rekomendasi, setelah rekomendasi didapatkan kemudian turun lagi ke lantai dasar menuju loket tempat pengambilan formulir, disitu juga ramai warga negara Indonesia yang berurusan menurut keperluan masing-masing. Karena ramainya saya harus antri, setelah formulir didapatkannya cari tempat untuk mengisi formulir tersebut, disamping itu banyak juga orang yang menawarkan jasanya untuk menolong mengisi formulir, tetapi setelah membaca formulir tersebut saya bisa mengisinya sendiri tanpa memerlukan jasa seseorang.
Setelah selesai mengisi formulir, saya pergi ke loket tempat penyerahan formulir. Disana berkas yang saya serahkan diteliti. Adapun berkas yang saya serahkan itu antara lain paspor isteri, rekomendasi dari Bagian Pendidikan Kedubes RI dan formulir yang telah saya isi tadi beserta foto anak-anak. Setelah semua berkas tersebut diteliti, saya disuruh membuat pembayaran di loket lain dan tanda lunasnya harus diperlihatkan kepadanya, kemudian saya diberi tanda terima bahwa berkas dan paspor isteri ada di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk pengurusan pemisahan dan pembuatan paspor anak-anak yang ikut tercantum didalam paspor isteri dan akan selesai selama tiga hari setelah tanggal surat ini. Surat ini penting kalau-kalau ada Pemeriksaan Polis (razia polisi), tanpa surat tanda terima itu bisa-bisa dicap sebagai Pendatang Haram (Pendatang Tanpa Izin).
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, waktu istirahat pegawai-pegawai Kedutaan sudah tiba, untung saja segala pengurusan saya sudah selesai. Kami sudah mulai lapar, di kompleks Kedutaan itu ada juga warung nasi, jadi saya tidak usah mencari rumah maka kemana-mana lagi. Selesai makan siang saya keluar dari kompleks Kedutaan dan tak lupa menukarkan kokarde dengan KTP yang diminta Satpam sewaktu saya masuk tadi. Di luar kompleks adalah jalan raya (Jln. Tun Razak) maka dengan mudah saya langsung menyetop taksi, menyetop kendaraan atau menerima/memberi sesuatu di Malaysia dengan tangan kiri tidak masalah, kita tidak akan dikatakan kurang ajar, tetapi akan lebih baik dengan tangan kanan. Setelah duduk diatas taksi, derebar (sopir) bertanya : “Kemane Ncik?”. “Tolong hantar saya ke BAS STESEN (terminal bus). “Oh … Pudu Raye kan ?”, kata sopir taksi itu lagi. “Ya, Ncik”, jawab saya singat. Pudu Raya adalah nama lain dari terminal bus tersebut karena terminl bus itu terletak di Jalan Pudu. Sesampainya saya di terminal bus saya langsung saja naik bus jurusan Seremban. Tiket bus dibayar diatas bus saja, keberangkatan bus menurut jadwal, walaupun belum penuh. Di Seremban saya pindah jurusan Kuala Pilah dan di Kuala Pilah pindah lagi naik Kereta Sewa (oplet, yaitu mobil sedang yang bukan taksi) menuju Seri Menanti.
Saya dan juga pegawai-pegawai lainnya mempunyai hak cuti 14 hari dalam satu tahun, cuti tersebut boleh diambil bila diperlukan, satu lagi sistem, bila seseorang itu sedang cuti, tidak boleh diganggu seperti dipanggil oleh atasan atau ditelepon dan jika hari cuti itu tidak dihabiskan dalam satu tahun maka hari cuti itu akan hangus, jadi hari cuti harus dihabiskan. Bila sakit yang memerlukan istirahat, juga ada hak cuti diluar cuti tahunan yang dinamakan Cuti Sakit, tetapi harus ada Surat Keterangan Sakit dari Kelinik atau Hospital (Rumah Sakit).
Pernah satu kali, sewaktu saya sedang kerja, saya demam, kadang-kadang badan terasa panas, kadang-kadang dingin. Saya minta izin untuk pergi ke Kelinik (semacam Puskesmas), setelah diperiksa, saya diberi obat dan juga diberi Surat Keterangan Sakit supaya istirahat dua hari, sekembalinya saya dari Kelinik saya terus ke Pejabat (kantor) Muzium, saya serahkan Surat Keterangan Sakit itu kepada staf disana, lalu dicatat bahwa saya cuti sakit selama dua hari, kemudian saya pulang ke rumah, setelah makan nasi saya makanlah obat yang dibawa dari Kelinik tadi, setelah itu tidur, malamnya makan lagi obat tersebut. Keesokannya, bangun seperti biasa, sesudah shalat fardhu Subuh, sarapan pagi, merasa badan sudah segar bugar, tidak ada demam lagi, normal seperti biasa. Pagi itu pergi kerja. Sedang bekerja, saya dipanggil ke Pejabat (kantor), lalu saya bertanya : “Apa hal saya dipanggil ?”. Seraya saya duduk dikursi. “Bapak tidak boleh masuk kerja, karena Bapak sedang cuti sakit, seeloknya Bapak rehat aje dirumah”, katanya. “Tapi saya kan sudah sehat, tidak demam lagi”, kata saya meyakinkan. “Betul …., walau Bapak sudah sihat, Bapak tetap tidak boleh bekerja, kerana Bapak sudah dicatat untuk cuti sakit dua hari. Kalau Bapak disini juga tak pe, Bapak hanya dianggap sebagai tamu atau pengunjung, tapi kalau Bapak ingin menikmati hari cuti sakit Bapak ini untuk urusan peribadi, terserah Bapak, kami tidak menyalahkan Bapak,” kata staf itu lagi. Memang aneh tapi nyata, saya nikmatilah hari cuti sakit itu untuk keperluan pribadi.
Waktunya untuk mengambil paspor anak-anak saya di Kedubes RI Kualalumpur sudah tiba. Lagi-lagi saya minta cuti satu hari, kali ini saya pergi seorang saja, karena hanya mengambil paspor tanpa ada urusan lain. Memang, yang saya urus di Kedutaan RI Kualalumpur itu telah siap. Pulangnya saya membawa tiga paspor yaitu paspor isteri saya, paspor kedua anak saya, sedangkan anak saya yang kecil masih tertera sebagai pengikut didalam paspor ibunya. Karena saya tidak ada urusan lain selain menjemput paspor itu, tepat pukul 14.00 saya sudah berada kembali di Seri Menanti. Saya langsung menemui Guru Besar (Kepala Sekolah) Sekolah Kebangsaan Tunku Laksmana Nasir untuk meminta rekomendasi yang akan dibawa ke Pejabat Pendidikan Seremban (Kantor Dinas Pendidikan Seremban) bersama-sama paspor anak-anak saya, Guru Besar (Kepala Sekolah) memberinya dengan senang hati tanpa dipungut bayaran. Supaya cepat tuntas besoknya minta cuti lagi untuk ke Seremban, pegawai Muzium memaklumi akan urusan saya ini, jadi tidak keberatan memberi izin cuti.
Di Seremban saya sudah tahu alamat Pejabat Pendidikan, saya langsung saja kesana. Disana saya disambut dengan ramah. “Macam mane, dah selesai pasport anak Pak Cik ?,” katanya. “Sudah”, jawab saya singkat. “Tunggu kejap ye, kami buatkan rekomendasinya, lepas ni Pak Cik terus aje ke Pejabat Imigresen (Kantor Imigrasi)”.
Katanya sambil menuju komputer yang terletak disudut ruangannya. Tidak menunggu lama selesailah rekomendasi tersebut. “Berapa saya harus bayar?”, kata saya. “Untuk ini Pak Cik tak dikenakan bayaran apapun”, katanya. Saya telah diberi tahu oleh teman-teman Malaysia, kalau pejabat dimana saja di Malaysia ini mengatakan bahwa tidak dikenakan bayaran, jangan coba-coba memberi pribadinya uang sebagai balas jasa, kita akan dipersalahkan dan dituduh Rasuah (menyogok/memberi suap) dan akan berhadapan dengan undang-undang.
Dari Pejabat Pendidikan, saya menuju sebuah gedung bertingkat, entah berapa tingkatnya saya tidak tahu karena tidak dihitung. Gedung itu dinamakan Wisma Persekutuan yang tidak berapa jauh dari Pejabat Pendidikan. Di lantai dasar Wisam Persekutuan itu saya baca daftar yang terpampang didinding, melihat dilantai ke berapa kantor imigrasi tersebut, kiranya di lantai empat. Saya menunggu pintu lift terbuka, setelah terbuka saya masuk dengan beberapa orang lainnya, masing-masing memencet nomor lantai yang dituju. Di lantai empat saya keluar, memang disanalah kantor imigrasi, di dinding tertulis dengan huruf yang besar, MESRA DAN TEGAS, maksudnya ramah dalam melayani dan tegas dengan peraturan, dan di loket-loket pelayanan tertulis ANTI RASUAH (anti sogok/suap). Juga nasehat teman-teman Malaysia, kalau akan berurusan dimana-mana kantor di Malaysia ini harus dipastikan terlebih dulu persyaratan yang harus kita sediakan, satu saja kurang, pengurusan akan ditunda. Saya terus masuk dan menuju sebuah meja disebuah sudut, disitu tertulis TEMPAT BERTANYA yang dilayani oleh seorang pegawai imigrasi. Disana saya menanyakan bagaimana prosedur pengurusan Pas Pelajar, pegawai tersebut menerangkan dari awal sampai akhir, setelah saya mengerti, maka mulailah saya laksanakan sebagaimana petunjuk yang diberikan pegawai imigrasi itu. Karena saya telah mengerti urutan pengurusannya dan juga segala persyaratannya telah tersedia, tidak memerlukan waktu lama, semuanya lancar, terakhir saya membayar biayanya kepada Bendahara yang berada di lantai lima, saya bayar semuanya 150 ringgit dengan perincian pembayaran VISA MULTIPLE ENTRY (izin keluar masuk Malaysia) 15 ringgit, pembayaran PAS PELAJAR 60 ringgit, jumlahnya 75 ringgit, untuk dua orang anak 150 ringgit, dan berlaku untuk satu tahun. Kemudian saya diberi Resit Pengambilan (Surat Pengambilan) dan akan siap tiga hari lagi. Setelah siap semuanya saya pulang dengan hati lega.
Tepat tiga hari setelah itu saya pergi lagi ke Wisma Persekutuan Seremban untuk menjemput paspor anak-anak saya dengan Pas Pelajarnya. Saya serahkan Surat Pengambilan di loket Pengambilan Surat-Surat, pegawai disana memberikan dua paspor kepada saya. Saya lihat didalamnya sudah direkatkan semacam stiker sebanyak dua buah yaitu Visa Multiple Entry disatu halaman dan Pas Pelajar dihalaman sebelahnya, setelah saya mengucapkan terima kasih, saya langsung pulang.
Alhamdulillah, berkat pertolonganMu ya Allah, dengan waktu tidak sampai satu bulan anak-anak saya resmi menjadi pelajar di Malaysia, jadi apa yang saya cemaskan sebelumnya tidak bertemu, semua pengurusan lancar, kenapa sebelumnya saya menjadi seorang “Olun Poi Lah Babaliak” (belum pergi telah berbalik) sehingga saya pengecut dan cengeng ?
Kini semuanya telah beres, saya dapat dengan tenang menghadapi pekerjaan. Anak-anak saya pun telah mulai banyak kawan, pulang sekolah, dia senang bergaul dan bermain dengan anak-anak tempatan, mereka bermain dengan riang dan gembira hampir tidak terdengar lagi anak-anak saya menggunakan kecek kampuang (berbicara bahasa kampung), mereka selalu menggunakan cakap Malaysia.
Suasana didalam rumah tangga saya pun cukup tenang dan harmonis karena ekonomi rumah tangga boleh dikatakan mencukupi untuk membiayai keperluan sehari-hari, karena disamping saya mendapat gaji, isteri saya pun juga mendapat gaji perbulannya, ditambah lagi setiap bulan masing-masing kami mendapat jatah beras, gula pasir dan susu.
Ditempat kerja, bila ada pengunjung, sangat ramai, kadang-kadang sampai 4 atau 5 bus yang datang, lebih-lebih dihari libur ramai yang datang, ada wisatawan tempatan yang terdiri dari Melayu, India dan Cina dan ada juga wisatawan mancanegara, saya mengambil kesempatan menjual kain songke dan barang-barang souvenir yang sengaja saya bawa dari Silungkang. Kadang-kadang juga diramaikan oleh pembuatan sinetron, video klip, pembuatan iklan TV. Juga sering yang datang wartawan-wartawan koran dan tabloid untuk mewawancarai, dan juga ada salah satu TV swasta Malaysia mengambil gambar dan mewawancarai tentang tenun songket untuk ditayangkan di TV swasta tersebut. Adakalanya diramaikan dengan pameran-pameran instansi pemerintah dan tak kalah hebatnya adalah pameran senjata dan alat-alat perang militer Malaysia. Halaman Muzium penuh dengan peralatan-peralatan perang, sungguh suatu pemandangan yang mengasyikkan.
Bulan Februari 1999, saya telah melaksanakan pekerjaan dengan tenang, pagi pukul 08.00 masuk kerja, pukul 12.00 sampai pukul 13.00 istirahat, pukul 16.00 pulang. Saya dan isteri saya beserta anak-anak mulai senang tinggal di Malaysia, tetangga sebelah rumah semuanya ramah dan senang bergaul dengan kami karena sama-sama etnis Melayu. Lidah kami mulai terbiasa dengan sarapan pagi masakan Malaysia seperti Nasi Lemak, Roti Canai dan yang lebih saya sukai ialah Nasi Goreng masakan Kedai Mamak yaitu warung nasi keturunan India.
Tanggal 2 Maret 1999, pukul 09.00 pagi, sewaktku saya sedang bekerja, datang seorang staf kantor Muzium kepada saya. “Pak, ada talipon”, katanya. “Baiklah”, kata saya sambil mengikutinya ke kantor Muzium. Saya angkat telepon, kiranya telepon dari Silungkang yang mengatakan bahwa Bapak isteri saya telah berpulang ke Rahmatullah pukul 19.30 senja kemarin. 3 jam kemudian Ibu isteri saya menyusul pula berpulang ke Rahmatullah kedua-duanya karena sakit. Dikatakan supaya saya bijaksana menyampaikan berita tersebut kepada isteri saya, dan izin dari saya untuk dilaksanakan penguburannya karena tidak mungkin ditunggu isteri saya pulang. Lama saya duduk dan termenung, untuk menyampaikannya kepada isteri saya, rasanya saya tak sanggup, karena memang inilah yang dicemaskan isteri saya sewaktu akan berangkat ke Malaysia dulu. Saya kembali ketempat kerja seakan-akan tidak terjadi apa-apa, isteri saya pun tidak pula bertanya telepon dari mana, karena biasanya telepon dari Seremban atau dari Tan Sri Samad Idris.
BAGIAN KETUJUH
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.
Lama kelamaan isteri saya curiga juga melihat perubahan sikap saya, memang saya sangat sulit untuk menyembunyikan kegelisahan didalam diri saya, saya harus berbohong kepadanya guna kestabilan suasana. “Tako talepon daghi Silungkang,” kata saya memulai berbicara setelah isteri saya disuruh duduk mendengarkan kata saya. “Bapak sadang manjadi sakiknyo dikampuang, kini Bapak tu tempo di Rumah Sakik Solok, awak nyo suruah pulang, jadi awak mintak permisi limo boleh aghi pulang baliak, bisuak pagi awak barangkek, ambo lah manalepon ka Tan Sri Samad Idris dan ka Seremban, awak lah dapek izin untuak pulang ka Silungkang, kata saya dengan sangat hati-hati. “Jadi na, mudah-mudahan Bapak tu ndak bakpo-bakpo,” jawab isteri saya dengan nada cemas.
Setelah itu saya langsung pulang ke rumah, sedangkan isteri saya masih bekerja di Muzium, sampainya saya di rumah, saya panggil anak-anak saya. “Bisuak pagi Bapak jo Mama ka kampuang limo bole aghi pulang baliak, sobok Ongku jo Nenek lah maningga, tapi ka Mama indak buliah dikecek-an bahaso lah maningga do, bakecekan ajo bahaso Ongku sadang sakik dan tempo di Rumah Sakik Solok, awak taposo baduto, kalau ndak baitu, akan timbu pulo masalah baru, lai mangaroti kalian da,” kata saya memberi pengertian. “Jadi dek karano kalian sadang sikolah, kalian manunggu disiko, untuang untuang ndak sampai limo bole aghi do, Bapak jo Mama baliak kasiko,” sambung saya lagi. Anak-anak saya cepat paham apa yang saya maksud. “Jadi Pak, tapi usahoan copek baliak di Pak,” kata anak-anak saya.
Di Seremban seakan-akan orang tidak percaya setelah saya ceritakan bahwa mertua saya kedua-duanya meninggal dunia hanya dengan selisih waktu lebih kurang tiga jam, biasanya yang terjadi seperti itu kalau ada kecelakaan atau musibah lainnya, tetapi ini meninggal secara wajar, seakan-akan sudah ada janji diantara beliau sebagaimana pameo remaja bercinta “Sehidup Semati”, nyatanya terjadi pada kedua orang mertua saya, bahkan beliau sekubur berdua.
Lebih kurang setahun sebelum beliau meninggal, Bapak mertua saya pernah berkata kepada isteri saya : “Kok mati, bialah Bapak mati dulu daghi ande kau, kok ande kau nan dulu mati, mungkin den gilo dek nyo.” Kenyataannya memang demikian, Bapak mertua saya meninggal duluan dan berselang tiga jam kemudian disusul oleh Ibu mertua.
Berita meninggalnya Ibu dan Bapak isteri saya tersebut tidak diketahui oleh isteri saya. Dada saya mengandung rahasia yang dijaga erat-erat. Saya tidak mau isteri pingsan atau jatuh sakit karena dia tahu bahwa Ibu Bapaknya sudah meninggal, saya berusaha menyimpan rahasia, minimal sampai di Silungkang nanti.
Malamnya, segala sesuatu dipersiapkan, barang, surat-surat dan lain-lain. Tetangga diberitahu bahwa besok pagi kami pulang dan tidak lupa menitip dua orang anak-anak yang masih sekolah, sedangkan anak saya yang kecil (5 tahun) dibawa, karena tidak mungkin ditinggalkan, taksi yang akan membawa kami ke Melaka sudah dipesan yaitu taksi kepunyaan tetangga diseberang rumah.
Pukul 05.00, pagi kami berangkat dari Seri Menanti dan pukul 08.00, kami sampai di Melaka, saya langsung membeli tiket Ferry Indomal yang akan berangkat pukul 11.00 siang ke Dumai, jadi dapat juga kesempatan untuk makan, minum dan membeli makanan yang akan dibawa ke kampung. Isteri saya tetap yakin bahwa Bapaknya sakit, sedangkan saya pun tetap menjaga rahasia, sehingga suasana selalu normal.
Pukul sebelas kurang seperempat kami naik Ferry Indomal, barang-barang bisa kami angkat sendiri karena ringan dan tidak memerlukan bantuan buruh angkat. Tepat pukul 11.00, Ferry berangkat, kami memilih tempat duduk ditengah karena kalau Ferry mengarungi ombak yang agak besar kedudukan tetap stabil, di sudut kiri ruangan dimana kami duduk ada sebuah meja tulis untuk keperluan petugas imigrasi menstempel paspor sehingga di pelabuhan Dumai nanti hanya tinggal pemeriksaan barang, diatas Ferry kami diberi snack berupa nasi lemak dan segelas air Aqua. Lebih kurang empat jam berlayar kami sampai di Dumai, diluar pelabuhan, agen travel sudah ramai menunggu penumpang, saya sudah berlangganan dengan travel Simawang Indah karena pusatnya ada di Solok. Di atas travel tersebut hanya ada saya tiga beranak, tidak lama kemudian ditambah lagi dengan seorang ibu yang akan menuju Bukittinggi, dikarenakan tidak ada lagi penompang kami dikenakan bayaran Rp. 50.000,- seorang yang biasanya Rp. 35.000,- per orang. Travel berangkat dari Dumai, saya sudah mengatakan kepada supirnya bahwa nanti tolong antarkan kami ke Silungkang, karena travel tersebut hanya sampai di Solok dan saya bersedia menambah ongkosnya, supir setuju dan ongkosnya ditambah Rp. 20.000,- lagi.
Di kota-kota tertentu dimana ada wartel, saya minta supir untuk berhenti sebentar untuk menelepon ke Silungkang bahwa kami dalam perjalanan pulang sambil menyebutkan nama kota tempat saya menelepon, seperti Duri, Minas, Bangkinang, Payakumbuh dan terakhir Bukittinggi. Keberadaan Wartel waktu itu sangat penting karena ponsel belum merakyat seperti sekarang.
Pukul 01.00 dini hari, kami sampai di Lubuk Kubang Silungkang Oso, kelihatan orang ramai menanti kami, isteri saya disongsong oleh saudara-saudaranya.
“Toruilah awak ka Rumah Sakik Solok sakali,” kata isteri saya kepada adik-adiknya.<
“Ka uma lah awak dulu,” kata adik-adiknya. Di rumah orang pun sudah ramai pula.
“Bakpo dek rami,” kata isteri saya heran. Lalu isteri saya dirangkul oleh adiknya yang perempuan sambil menangis dia berkata :
“Bapak ndak ado lai”; Maka meraunglah isteri saya sejadi-jadinya menelengkup dipangkuan seorang ibu yang hadir malam itu, banyak orang yang menyabarkan isteri saya dan saya menyarankan supaya orang membiarkan isteri saya menangis-nangis sepuas-puasnya untuk menguras kesedihan yang menyesak didadanya. Setelah puas menangis, lalu dia duduk, tengok kiri, tengok kanan mencari ibunya sambil menanyakan dimana ibunya, kembali menanyakan dimana ibunya, kembali adik perempuannya merangkul dan menangis, sambil mengatakan bahwa ibunya juga menyusul pergi. Isteri saya kembali menangis, “Ondee …… lah poi bulo,” katanya sambil menelungkup kembali di lantai, saya menghampiri, “Jan talalu laruik, ingek anak awak baduo tingga di Malaysia, kalau laruik beko sakik lo, tontu susah hati lo anak-anak awak,” kata saya menyabarkan. Kebenaran yang saya katakan itu dapat diterima oleh isteri saya, dia berhenti menangis, lalu duduk kembali, kemudian dia sudah mulai menegur orang-orang yang hadir di rumah itu. Hari sudah mulai subuh, badan letih dan mata pun sudah mengantuk. Isteri tidak tahu bahwa saya menyimpan rahasia karena telah mengetahui hal ini sebelumnya.
Berangsur-angsur isteri saya mulai menerima kenyataan serta merelakan kepergian kedua orang tuanya, tetapi kesedihannya kambuh sewaktu dia berdoa setiap sesudah sholat, dengan tersedu-sedu menangis dia mengharapkan Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang tuanya dan mengharapkan supaya orang tuanya diterima dengan baik oleh Allah SWT, keadaan seperti ini berlangsung berbulan-bulan lamanya. Selama kami berada di Silungkang tiap hari orang ramai berkunjung, hati yang sedih terobat juga olehnya.
Sepuluh hari sudah berlalu, tibalah saatnya bagi kami untuk kembali ke Malaysia, sehari sebelum keberangkatan saya minta kepada Kepala Desa Silungkang Oso untuk dibuatkan Surat Keterangan Meninggal Dunia kedua orang mertua saya tersebut untuk diserahkan kepada Pengurus Muzium di Malaysia sebagai bukti kebenaran meninggalnya kedua orang mertua saya itu, sebab jarang terjadi hal yang semacam itu, seakan-akan ada perjanjian sehidup semati. Menurut keterangan yang saya terima. Bapak mertua meninggal di Rumah Sakit Umum Solok pukul 19.30 (setengah delapan senja), sedangkan Ibu mertua yang matanya tidak menampak lagi itu berada di Silungkang tidak diberitahu bahwa Bapak mertua sudah meninggal, pada jam meninggal Bapak mertua itu, Ibu mertua langsung lemah dan pingsan (ndak tau diughang), kira-kira pukul 21.30 beliau sudah kelihatan akan pergi menghadap Yang Maha Kuasa, supaya jangan terjadi penyesalan oleh anak-anak beliau dibisikkanlah bahwa Bapak telah meninggal, kemudian dibisikkan pula ucapan dua kalimat syahadat, tidak lama kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir menyusul suami yang telah dahulu pergi. Dua mayat terbujur di atas rumah, kesedihan menyelimuti seluruh keluarga, orang yang melayatpun sangat ramai dan yang menyembahyangkan pun ramai pula bertempat di Surau Lubuk Andai.
Kalau dikenang semasa hidup beliau termasuk keluarga miskin mangkoke dulu baru makan, diwaktu itu belum ada program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan seperti sekaran, untuk mengharungi kehidupan dan guna mencukupi kebutuhan rumah tangga telah bermacam-macam pekerjaan dilaksanakan, namun kemiskinan tidak juga mau renggang dari beliau. Dengan mendiami 4 m x 4 m beliau membina rumah tangga serta membina anak-anak, beliau dikaruniai 15 orang anak dan yang hidup sampai sekarang 8 orang (2 orang perempuan, 6 orang laki-laki) sedangkan yang 7 orang lagi meninggal semasa kecil.
Pahit getirnya kehidupan yang diselimuti kemiskinan dilalui dengan tabah dan sabar dan punya prinsip ado samo dimakan, ndak ado samo dicaghi, terpaan kesusahan hidup ini dijadikan sebagai alat perekat kasih sayang dalam kehidupan beliau berumah tangga. Pernah suatu waktu dulu (menurut penuturan isteri saya), pukul setengah enam pagi beliau suami isteri berjalan kaki dari Lubuk Kubang ke Lubuak Cokuang dekat Cinto Moni lebih kurang tiga kilometer dengan membawa jala ikan. Beliau suami isteri menangkap ikan masai di sungai, sampai pukul delapan pagi sudah berhasil menangkap ikan beberapa joghek (joghek yang terdiri dari lidi daun kelapa), kemudian berjalan kaki lagi menuju pulang, sebelum sampai di rumah singgah dulu di balai (pasar) menjual ikan tersebut dan uangnya dibelikan beras, cabe, bawang dan maco (ikan kering), sampai dibiarkan anak-anak makan terlebih dulu dan sisanya baru dimakan oleh beliau berdua.
Untuk menambah pendapatan beliau juga menerima upahan bertenun kain sarung, memintal benang dan ada kalanya mencelup benang.
Saya juga melihat sendiri kesetiaan beliau suami isteri dan saya pun tidak pernah mendengar pertengkaran diantara beliau, kalau si isteri sakit, si suami sibuk mencarikan obat, begitu juga sebaliknya, mesra dan harmonis, dan benar-benar keadaan seperti itu terlihat sampai akhir hayat.
Setelah kami mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi kembali ke Malaysia, mobil travel yang akan membawa kami ke Dumai pun telah siap menanti, isteri saya minta izin untuk pergi ke pusaran, Ibu Bapaknya guna berdoa dan pamit sampai dipusaran dia membersihkan daun-daun kering yang gugur dan berserakkan, berdoa serta minta izin untuk pergi. Kembali pemandangan yang mengharukan terlihat, dipeluknya gundukan tanah yang masih merah itu, seakan-akan dia memeluk Ibu Bapaknya, air mata meleleh dipipinya sambil berkata : “Salamek tingga Ibu jo Bapak, ambo baliak dulu ka Malaysia, semoga Ibu jo Bapak tonang dalam peristirahatan tarakhir.” Pelan-pelan dia meninggalkan pusaran sambil sering menengok ke belakang di mana Ibu Bapaknya terbaring, sambil berjalan ditempat mobil menunggu. Ramai juga orang mengantar keberangkatan kami, sebelum naik mobil isteri saya bersalaman dengan orang-orang yang mengantarkan itu dan minta terima kasih, kemudian dirangkul adik-adiknya dan isteri saya menatap kepada saya sambil berkata : “Tuak … Datuak adolah suami ambo, diantaro ambo jo adiak-adiak ambo, datuak lah nan ta tuo, dek kami adiak baradiak datuaklah lah nan ka gonti ughang tuo kami, nan ka manunjuak aja, nan ka maingek jo menegeur kami, jan di sio sio an kami, itulah minta kami ka datuak.”
BAGIAN KEDELAPAN
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.
Dalam perjalanan menuju Malaysia tidak banyak percakapan yang terjadi karena suasana hati masih mengandung kesedihan, bayangan almarhum semasa hidup selalu menjelma diingatan dan suaranya masih terngiang ditelinga.
Biasanya disepanjang jalan kami selalu menikmati keindahan alam yang dilewati, tapi kali ini pemandangan yang indah itu berlalu begitu saja, cuacapun mendung, hujan tidak panaspun tidak. Tanpa terasa dikarenakan perasaan hampa, kami telah mendarat di pelabuhan Melaka. Di Melaka saya sengaja belum mencari kendaraan menuju Seri Menanti, saya bawa isteri dan anak saya jalan-jalan melihat objek wisata serta peninggalan sejarah, setelah puas barulah saya menuju ketempat perhentian taksi yang tak jauh dari pelabuhan. Kami naik taksi menuju Seri Menanti lewat Tampin, jadi kami tidak melalui Seremban karena jalannya jauh dan berbelit-belit. Jalan yang ditempuh Melaka – Tampin – Kuala Pilah – Seri Menanti jauh lebih pendek dari Melaka – Seremban – Kuala Pilah – Seri Menanti.
15 Maret 1999 kami kembali sampai di Seri Menanti, tetangga, teman sekerja dan orang-orang yang kami kenal ikut menyampaikan duka cita, karena kami sudah dianggap oleh mereka sebagai keluarga sendiri, karena kami juga apabila ada kemalangan disana kami menyempatkan diri hadir untuk takziah dan berdoa, asal kami tahu ada kemalangan di tetangga ata orang-orang yang kami kenal, kami tetap berusaha untuk datang, tak kira yang meninggal itu rakyat biasa atau kerabat raja.
Tidak saja sewaktu kemalangan, berhelat kawin, acara adat di kampung-kampung pun kami sering diundang dan dengan senang hati kami menghadirinya. Begitu juga halnya dengan keluarga kerajaan, sewaktu T. Khursiah meninggal saya ikut mengantar ke Makam Diraja, selesai penguburan saya juga ikut membaca yasin, tahlil dan berdoa. T. Khursiah adalah Permaisuri Tuanku Abdul Rahman. Di hari raya Idul Fitri, sesudah shalat hari raya saya juga pergi ke Istana Besar menjamu selera, karena waktu itu Istana Besar terbuka untuk umum, seluruh lapisan masyarakat bersilaturahmi di halaman Istana Besar Seri Menanti. Ini semua saya lakukan supaya saya dan keluarga membaur dengan masyarakat, sebagaimana pepatah mengatakan “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, disamping itu kesempatan tersebut saya gunakan untuk menambah pengetahuan saya tentang pengamalan Adat Perpatih di Negeri Sembilan serta membandingkannya dengan pengamalan Adat Minangkabau di Sumatera Barat. Saya merasa beruntung sekali bekerja di Seri Menanti, karena disinilah pusat kegiatan Upacara Adat Perpatih, jadi dengan mudah saya dapat mengamati pelaksanaan upacara tersebut dan saya pun juga dibawah ikut serta menjadi Urus Setia (Panitia).
Kami mulai bekerja seperti biasa, di samping itu acara demi acara juga berlangsung di sekitar tempat kami bekerja, kegiatan latihan Caklempong oleh Putera/Puteri Seri Menanti dan juga latihan Rebana oleh orang dewasa ditambah lagi dengan adanya Shooting Sinetron TV dan Shooting Iklan TV serta Shooting Video Klip juga ada Pameran oleh instansi pemerintah, kesemua itu menambah semarak suasana.
Caklempong dengan lagu Minang, Rebana dengan pukulan Rentak Melayu, Rentak Arab dan Rentak India sungguh mengasyikkan.
Pada suatu hari datang satu bus pengunjung dari negara India, semuanya sebaya, pemuda- pemuda tampan dan gadis-gadis cantik seperti aktor dan aktris Bollywood, pertama sekali mereka menuju ke tempat kumpulan rebana latihan, seorang diantara mereka yang mungkin sebagai ketua rombongan berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, nampanya mereka ingin menyumbangkan sebuah lagu dan tari-tarian India serta mengajarkan rentak pukulan rebana yang diinginkan atau yang sesuai dengan lagu yang akan dinyanyikan. Maka mulailah dipalu rebana dengan serentak oleh anggota kumpulan rebana yang jumlahnya 10 orang, diikuti oleh seorang pemuda menyanyikan lagu India (berbahasa Urdu) dan pemuda-pemuda serta gadis-gadis lainnya menari dengan riangnya seperti yang kita lihat pada film-film India.
Tersentuh juga hati saya melihatnya, karena saya juga hobby nonton film India, biasanya saya melihat melalui layar bioskop-bioskop atau layar kaca televisi, sekarang langsung melihatnya. Panjang juga lagu yang dinyanyikannya, setelah berhenti semuanya bertepuk tangan. Saya maju kedepan menyalami penyanyi sambil berkata kepadanya supaya ditambah nyanyinya lagi, dia minta maaf tidak bisa, waktunya terbatas karena
sudah diatur jadwal.

Awal bulan April 1999, terlihat kesibukan-kesibukan di Istana Lama dan di Istana Besar Seri Menanti, suatu acara yang langka dan diadakan pada hari Sabtu, 24 April 1999 yaitu acara ISTIADAT KEBERANGKATAN BALIK DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG, SETELAH TAMAT TEMPOH BERTAKHTA SEBAGAI DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG KE KE X. Yaitu acara penyambutan kepulangan Tuanku Jaafar ibni Al Marhum Tuanku Abdul Rahman dari Istana Negara Kualalumpur setelah bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang di-Pertuan Agung Malaysia dan kembali ke Istana Besar Negeri Sembilan, yang mana jabatan Yang Di-Pertuan Agung selanjutnya digulirkan kepada Raja/Sultan dari Negeri (Propinsi) lainnya, dan bertakhta selama 5 tahun, kecuali meninggal dunia. Raja/Sultan yang akan mendapat giliran tersebut sebanyak 9 orang.
Bisa kita bayangkan bahwa acara penyambutan ini diadakan di Seri Menanti sekali 45 tahun atau hampir setengah abad. Acara penyambutan ini diadakan selama 9 hari 9 malam, penuh dengan Upacara Adat serta Hiburan Kesenian Tradisional, Kesenian Modern juga ada pertandingan-pertandingan Olah Raga.
Pada tanggal 24 April 1999 tibalah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu acara penyambutan Baginda. Pagi-pagi sekali pertama-tama saya mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun kepada salah seorang anak saya yang lahir pada tanggal 24 Aprl 1987, setelah itu baru berangkat menuju halaman Istana Lama, disana sudah ramai orang terutama Pemangku Adat yang sebagian mereka memakai TENGKOLOK DANDAN TAK SUDAH, yaitu destar (deta) kebesaran di Negeri Sembilan. Masyarakat mulai berdatangan, panitia sibuk dengan pekerjaan bagian mereka masing-masing, Seri Menanti penuh dengan hiasan, disepanjang jalan menuju Istana Besar seluruh lapisan masyarakat berbaris di tepi jalan, Pelajar dan Mahasiswa masing-masing membawa bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia, pertunjukan kesenian tradisional diadakan disepanjang jalan ditambah lagi dengan persembahan Kebudayaan kumpulan Cina, India dan Sikh. Di tepi jalan sebelah kiri dipagari oleh orang-orang pembawa Bunga Manggar sedangkan di tepi jalan sebelah kanan dipagari oleh group Vespa, Motor Klasik dan Mobil Antik.
Tepat pukul 4.45 ptg. (16.45 sore) iring-iringan mobil yang membawa kepulangan Baginda sampai di Seri Menanti, Gendang Perang dan Kompang dipalu silih berganti, tak kalah meriahnya sewaktu gendang Cina, India dan Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh meraung-raung diiringi pula oleh seruling kelompok India sungguh indah didengar, rakyat yang berjejar ditepi jalan mengibarkan bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia yang terbuat dari plastik berukuran kecil.
Setiba di Pintu Gerbang Istana, Baginda dan Permaisuri turun dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana diiringi tiupan seruling dan gurindam, setibanya di Pintu Istana beras kunyit pun ditabur, di Istana diadakan jamuan teh dan dilanjutkan dengan Acara Istiadat Menyimpan Alat-alat Kebesaran.
Pada malamnya pukul 8.30 malam (20.30), di Padang Bola Sepak (lapangan bola kaki) Seri Menanti dan Londa Naga (semacam telaga yang terletak di antara Istana Besar dengan lapangan bola kaki) diadakan persembahan Tatoo dan Ketrampilan oleh ATM (Angkatan Tentera Malaysia) 1 Briged. Persembahan ini mendapat perhatian besar dari pengunjung.
Seri Menanti sangat ramai dikunjungi, siang malam pengunjung silih berganti, para pedagang memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual bermacam-macam barang dagangan, disini saya juga mengambil kesempatan untuk menjual Songket Silungkang dan barang-barang souvenir lainnya yang sengaja saya bawa dari Silungkang setiap saya pualng. Songket yang banyak laku waktu itu adalah songket cuki ponuah warna hitam dan warna merah dengan mokou warna emas, saya juga membawa sapu ijuk, karena sapu ijuk sedikit, banyak yang tidak kebagian, sapu ijuk oleh mereka bukan digunakan untk menyapu sampah, tetapi digangunt di dinding sebagai hiasan antik, mainan kunci berbentuk rangkiang (rumah adat Minangkabau) sangat laris terjual untuk digantung di mobil.
Acara demi acara dilaksanakan dengan lancar, aman dan tertib, acara Adat Istiadat, Kesenian Tradisional seperti Caklempong, Randai (ala Negeri Sembilan), Silat dan kesenian tradisional lainnya, dan juga kesenian-kesenian modern seperti persembahan lagu-lagu populer, pementasan drama, persembahan sastra. Disamping itu juga dimeriahkan dengan pertandingan-pertandingan olahraga.
Yang paling berkesan oleh saya adalah persembahan kesenian tradisional GHAZAL yang sengaja didatangkan dari Negeri Johor. Ghazal adalah lagu Melayu asli yang diiringi gabungan alat musik Melayu (biola), Arab (kecapi), India (gendang). Konon kabarnya musik Ghazal ini digunakan oleh Sultan Johor sebagai pengantar tidur. Saya tertarik dengan lagu Ghazal ini dari tahun 1968 lagi, sehingga koleksi kaset saya juga terdiri dari kaset lagu Ghazal. Mengenai kesenian tradisional yang ada di Malaysia, saya juga tertarik dengan Dondang Sayang dari Melaka, Mak Inang Pulau Kampai dari Negeri Sembilan, Dikir Barat dari Kelantan dan Boria dari Pulau Pinang, ini semua dapat saya tonton melalui TV 1 RTM (TV 1 Radio Talivisen Malaysia).
Tuanku Jaafar ibni A-Marhum Tuanku Abdul Rahman adalah satu-satunya keturunan Raja Pagaruyung yang masih berdaulat atau masih di Raja kan dan masih mempunyai Kerajaan yaitu Kerajaan Negeri Sembilan.
Selama Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang Di-Pertuan Agong, Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan dijabat oleh Putera Baginda yang tertua Tunku Laxamana Naquiyuddin ibni Tuanku Jaafar Al-Haj dengan gelar Paduka Seri Pemangku Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus. Kepulangan Baginda disambut mesra oleh Paduka Seri Pemangku dengan TITAH ALU-ALUAN (kata sambutan) yang saya salinkan berikut dengan teks sebagaimana aslinya :
Tanggal 24 April 1999 bersamaan 8 Muharram 1420 pasti tercatat sebagai salah satu lagi tarikh dalam sejarah Alam Beraja di Negeri Sembilan Darul Khusus apabila rakyat dari segenap lapisan masyarakat akan menyambut keberangkatan balik, D.Y.M.M. Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman yang menamatkan tempo bertakhta Baginda sebagai Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong ke X dari 26 April 1994 hingga 25 April 1999.
Peristiwa ini akan disambut dengan penuh adat istiadat menandakan kembalinya Raja yang dikasihi ke pangkuan rakyat negeri, dengan keunikan Adat Perpatih yang menjadi pegangan rakyat Negeri Sembilan Darul Khusus.
Sebagai satu-satunya negeri beradat, pastinya seluruh rakyat yang cintakan Rajanya tidak mau melepaskan peluang untuk bersama-sama meraih peristiwa yang penuh bermakna yang hanya berlaku hampir setengah abad sekali. Apa yang lebih membanggakan Beta, Kerajaan Negeri dengan dokongan pada rakyat dari segala lapisan masyarakat telahpun mengaturkan pelbagai program sebagai tanda kasih untuk menyambut keberangkatan balik Tuanku. Beta yakin, adat yang unik ini akan dapat diteruskan sepanjang zaman karena sesuatu yang datang dari rakyat itu adalah pancaran sebenar hati budi mereka.
Selain daripada acara menyambut keberangkatan balik Baginda, pelbagai acara telah disusun di Daerah Kuala Pilah, antaranya persembahan Tatoo, Larian Raja Melewar. Pementasan peristiwa di Bukit Candu dan pelbagai pertunjukan kebudayaan yang lain.
Pada kesempatan ini, Beta inigin merekamkan setinggi-tingginya penghargaan dan terima kasih diatas kesungguhan yang ditunjukkan oleh pimpinan negeri yang mendapat sokongan padu pihak Pentadbiran dan rakyat keseluruhannya bagi menjayakan adat istiadat ini dengan penuh gilang-gemilang.
Sesungguhnya Beta yakin, sesuatu yang lahir dengan penuh hati yang luhur itu akan membawa keberkatan.
Keterangan dari saya, D.Y.M.M adalah kependekan dari Duli Yang Maha Mulia. Pentadbiran artinya pemerintah atau Yang Berwenang, Beta artinya saya (diucapkan oleh Raja-raja Melayu).
Saya juga sempat menyaksikan pementasan Peristiwa di Bukit Candu, yaitu pertempuran perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pementasan ini diadakan di Padang Bola Sepak Seri Menanti dari pukul delapan malam sampai pukul 12.00 malam.
Pada suatu sore Tan Sri Samad Idris datang ke tempat saya bekerja, beliau mengajak saya naik mobilnya. “Pak Djasril, jom (ayoh) kite ke Kuala Pilah sekejap (sebentar)”. “Okey, Tan Sri”, jawab saya. Di Kuala Pilah kami masuk ke sebuah Kedai Minum dan langsung memesan minuman yang disukai masing-masing. “Macam ni Pak Djasril”, kata Tan Sri membuka kata, “Tahun ni adalah dijadikan Tahun Melawat Negeri Sembilan, pelancong tempatan (Malaysia) dan pelancong Antara Bangsa (Manca Negara) datang mengunjungi Negeri Sembilan, terlebih-lebih Istana Lama akan banyak dikunjungi, saye berhajat nak tambah tenun songket empat lagi, dan tentu sahaje ditambah lagi empat pengrajin dari Silungkang, tapi saye inginkan pengrajin yang lepas, kalau perempuan belum punye laki, kalau lelaki belum punye bini, untuk ini saye serahkan pade Pak Djasril macam mane baiknye,” lanjut Tan Sir.
“Baiklah Tan Sri,” jawab saya. “Nanti saya telepon Pak Djasril Munir Pengurus Kopinkra di Silungkang, karena beliaulah nanti yang akan merekrut pengrajin tersebut,” kata saya lagi.
Setelah selesai minum kami langsung saja kembali ke Seri Menanti, sesampainya di Seri Menanti saya terus saja ke kantor Muzium untuk menelepon ke Silungkang yaitu kepada Pak Dasril Munir, saya sampaikan rencana Tan Sri tersebut, Pak Dasril Munir menyambut baik rencana Tan Sri itu, dan akan memberi jawaban seminggu lagi.
Seminggu kemudian saya mendapat kabar dari Silungkang bahwa akan dikirim empat orang pengrajin lagi, semuanya wanita dan belum berumah tangga, 2 orang dari Batu Manonggou, 1 orang dari Sungai Durian dan 1 orang dari Panai Ompek Rumah.
BAGIAN KESEMBILAN
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.
Kedatangan empat orang pengrajin songket Silungkang di Seri Menanti membuat kegembiraan tersendiri bagi kami. Betapa tidak, kami merasa mempunyai anak empat orang lagi yang sudah remaja. Kami menyayangi mereka sebagaimana menyayangi anak sendiri. Kami beranggapan – anggapan kami ini entah betul entah tidak – yaitu berkemungkinan orang tua mereka bisa merelakan melepas mereka merantau ke Malaysia dikarenakan kami ada sebagai pengganti orang tua di Malaysia. Maklumlah tidak mudah bagi orang tua melepas anak gadisnya merantau jauh ke negara lain. Kami menerima mereka dan merasa mereka adalah bagian dari keluarga kami, juga kami mempersiapkan diri untuk waspada dan berkewajiban akan keselamatan mereka sebagaimana juga terhadap anak-anak kami. Mereka disediakan sebuah rumah disebelah rumah kami. Pada suatu malam, setelah shalat Isya mereka berkumpul di rumah kami dan saya mengambil kesempatan untuk menasehati mereka karena disadari mereka masih muda dan belum berpengalaman lagi cara “dimano bumi dipijak, disitu langik dijujuang”, lagi pula mereka kelihatannya dalam masa puber, dunia ini terasa mereka yang punya.
“Disiko ndak ubahnyo awak barado di kampuang”, kata saya membuka kata-kata nasehat setelah hidangan snack yang dikeluarkan istri untuk dicicipi oleh mereka.
“Awak harus pandai mambao diri, di kampuang awak baradek, disiko pun ughang baradek lo, dikampuang awak tau jo eriang gendiang, disiko pun baitu lo. Awak harus sopan santun, apo lai kalian padusi, pandai-pandai manjago diri, kalau awak sopan ughang pun sogan, nan pentiang sakali jagolah harogo diri, jago namo, namo kalian, namo kampuang, namo Minangkabau, namo Indonesia. Awak bakarojo ndak di swasta do, malainkan di Kerajaan, apo lai awak tu TUANKU PUNYA ORANG artinyo awak bakarojo di Istana rajo. Awak kamaghi ndak sakadar mancaghi karojo do, tapi disampiang tu awak dijopuik untuak bakarojo disiko, harus dijago kepercayaan ughang. Ado ciek lai nan Bapak kecek-an ka kalian, kalian anak gadi, ndak tatutuik kamungkinan ado anak bujang disiko konai hati dan ingin mempasuntiang kalian, bakpo-bakponyo kalian agia tau lah ka kami, kok lai untuang kalian ka bajodo di Malaysia ko suatu kabanggaan dek kami, anak-anak kalian sacaro otomatis warga negara Malaysia, karano anak ikuik kewarganegaraan bapaknyo, bukan kewarganegaraan ibunyo do. Baruntuanglah kalian punyo anak barado di negara nan stabil, aman dan makmur sejahtera. Kok salamoko kalian ndak bajilbab, bajilbablah, sobok sabagian besar padusi disiko bajilbab, padusi nan bajilbab manandokan ughang Malayu, ughang Malayu otomatis adolah ughang Islam, baitu disiko. Kamudian nan parolu juo Bapak sampaikan ka kalian yaitu supayo kalian baimok, jan boros, kona kaian tu mancaghi piti, piti nan kalian padapek disiko kok dibao ka kampuang kana manjadi tigo kali lipek harogonyo. Lobiah ancak kalian mamasak daghi pado makan dilopou, tapi kok tarogak makan di lopou sakali-sakali ndak sibagai do. Sa ancak nyo kalian manabuang di Bank, ka untuak maso depan kalian, disampiang tu sisian saketek untuak kalian kirim ka ughang tuo kalian di kampuang, kalian bisa mangirimnyo malalui Pos atau malalui Bank”.
Setelah saya memberi nasehat panjang lebar, mereka mengucapkan terima kasih. Saya berharap mereka dapat menerima nasehat saya itu dan menganggap kami sebagai pengganti orang tua mereka di negeri orang ini.
Pulang dan pergi ke tempat kerja selalu bersama-sama, kami senang hati, karena setelah kami perhatikan dari hari ke hari, dari bulan ke bulan mereka terlihat sangat baik dan bisa mengontrol diri sendiri. Mereka selalu berbusana muslimah, begitu juga kami lihat tingkah laku mereka sehari-hari sangat baik tidak ada yang akan membuat rusaknya nama mereka sendiri ataupun nama kampung, pulang kerja mereka terus ke rumah tidak berkeluyuran ke sana sini, bila ada keramaian di malam hari, mereka keluar bersama orang tua-orang tua. Benar, dikampung mereka ikut aturan adat dan agama, dirantaupun mereka mengamalkan adat dan agama sebagaimana dikampungnya, karena mereka selalu menjaga kesopanan, tidak satupun nada sumbang terdengar dari masyarakat setempat, bahkan masyarakat setempat memuji keluhuran budi alam Minangkabau yang mengajarkan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Mereka ta’at beribadah, inilah yang membuat orang tempatan simpati kepada mereka.
Benar, apa yang saya bayangkan semula, Muhammad Arif, seorang pemuda Negeri Sembilan menaruh perhatian kepada salah seorang dari mereka yaitu Yulismi binti Helmi, kampung Sungai Durian Silungkang Tigo. Sebenarnya Muhammad Arif telah lama memperhatikan Yulismi, pertama sekali Arif (nama panggilan) tertarik dengan kata’atan Yulismi beribadah, bertutur kata yang lemah lembut, bertingkah laku yang baik dan berbudi pekerti, serta dalam penampilan berbusana muslimah nampak anggun serta menarik. Bila bercakap-cakap halus tutur bahasanya. Arif berniat hendak mempersunting gadis Silungkang tersebut, niatnya itu disampaikan kepada orang tuanya. Orang tua Arif tidak begitu saja percaya dengan keterangan Arif tentang Yulismi. Orang tua Arif juga ingin melihat langsung tentang Yulismi, ini dilakukan secara diam-diam dan datang ke tempat Yulismi bekerja sebagai pengunjung.
Arif mencoba mendekti Yulismi. Arif dengan mudah bisa bertemu dengan Yulismi tiap hari karena Arif dan Yulismi setempat kerja, hanya saja bidangnya berlainan. Hari demi hari kelihatan mereka menyempatkan diri untuk berbicara bersama. Yulismi walaupun biasa tinggal dan bergaul ramai di kota Padang sewaktu masih kuliah, sifat kekampungan yang beradat dan bersopan santun selalu terlihat.
Arif berterus terang menyatakan niatnya hendak mempersunting Yulismi. Yulismi belum bisa menerima begitu saja tawaran hasrat Arif itu karena harus dirundingkan dulu dengan orang tua dan mamaknya di kampung, namun pada hakekatnya Yulismi menerima kehadiran Arif dihatinya.
Saya kenal betul dengan Muhammad Arif, seorang pemuda yang sopan dan berbudi pekerti yang baik, sebelum bekerja di Muzium Di Raja Istana Lama Seri Menanti, Arif adalah seorang Asykar (tentera), kemudian dia mengundurkan diri setelah bertugas ke luar negeri. Dia lebih suka bekerja selain bekerja sebagai militer. Konon kabarnya sekarang dia bekerja di Pejabat Distrik Kuala Pilah (Kantor Balai Kota Kuala Pilah) Negeri Sembilan. Karena bekas seorang tentera, dia berbadan kekar, berdisplin tinggi, seorang yang jujur dan ramah. sewaktu Arif dan Yulismi beserta dua orang anaknya pulau ke Silungkang beberapa tahun yang lalu, mereka mengunjungi kami. Dua bulan yang lalu saya menerima SMS dari Yulismi yang mengatakan bahwa anaknya yang besar sudah masuk TADIKA (Taman Pendidikan Kanak-kanak) semacam TK di tempat kita. Sedangkan anaknya yang kecil sudah masuk PRA TADIKA, yaitu semacam PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di tempat kita, kedua anaknya itu laki-laki.
Semakin hari semakin ramai pengunjung yang datang ke tempat kami bekerja. Tahun 1999 adalah “TAHUN MELAWAT NEGERI SEMBILAN” pelancong (wisatawan) berdatangan baik pelancong tempatan maupun manca negara.
Pada suatu hari datang dua buah BASA PESIARAN (bus pariwisata) penuh dengan pelajar tingkat SMA dari Sri Langka. Mereka tertarik sekali melihat kami menenun kain. Saya waktu itu sedang “manughiang” (memintal benang), salah seorang dari pelajar tersebut memanggil teman-temannya : “Hai kawan-kawan kemarilah, ada Mahatma Gandhi memintal benang !”. Saya hanya tersenyum mendengarnya, mungkin mereka teringat sejarah India. “Apa kabar kalian semua ?”, kata saya. “Baik-baik saja, terima kasih,” jawab mereka. “Dari negara mana kalian datang ?” tanya saya lagi. “Kami dari Shree Lank,” jawab mereka singkat. Saya tahu bahwa Sri Langka orangnya mirip juga dengan orang India.
Guna menanti pengunjung bermacam-macam acara diadakan seperti Pesta Persukuan Adat Perpatih, Pesta Masakan dan Makanan Tradisional Negeri Sembilan, dan tak kalah meriahnya adalah acara HARI KEPUTERAAN PADUKA SERI TUANKU yaitu Hari Ulang Tahun Kelahiran Tuanku Ja’afar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman yang ke 77 yang jatuh pada tanggal 19 Juli 1999. Acara ulang tahun Tuanku ini diadakan lima hari lima malam, berbagai acara bisa dinikmati mulai tanggal 17 Juli 1999 sampai tanggal 21 Juli 1999, acara kesenian, pertandingan olah raga, acara adat Penghulu Menghadap dan adat Bersiram, tayangan Wayang Gambar (pertunjukan film) layar tancap di Padang Bola Sepak (lapangan bola kaki) dengan judul film KUCH KUCH HOTA HAI, sebuah film Hindi (film India) yang sangat digemari waktu itu. Tayangan wayang gambar ini sangat ramai penontonnya sampai-sampai hampir penuh lapangan bola kaki tersebut. Disamping itu juga ada pameran yang diisi oleh JABATAN PENGANGKUTAN JALAN (JPJ) semacam LLAJR ditempat kita, JABATAN BOMBA semacam Pemadam Kebakaran ditempat kita, pameran Angkatan Tentera dan Pameran Polis di Raja (Polisi).
Dari seluruh acara dalam rangka Tahun Melawat Negeri Sembilan ini, yang masih berbekas dihati saya adalah saya adalah Persembahan Pentas berupa PANCA RAGAM (band) yang menyanyikan lagu-lagu Pop 60-an dengan penyanyinya M. Syarif.
Pop 60-an ini juga disebut Pop Yeyeh. Pop Yeyeh punya nostalgia tersendiri oleh saya. Bila saya mendengar lagu-lagu Pop Yeyeh diumur saya 58 tahun sekarang ini, saya merasa diterbangkan kemasa 41 tahun yang silam sebagaimana yang saya uraikan berikut ini.
Di tahun 1964, Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, ini adalah akibat terbentuknya negara Federasi Malaysia pada tanggal 16 September 1963 dan mulai tanggal 17 September 1963, pemerntah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaya dan Indonesia menyerukan “Ganyang Malaysia”, apa saja yang berbau Malaysia dilarang di Indonesia. Siaran radio Malaysia tidak boleh didengar oleh siapapun di Indonesia, kalau ketahuan akan ditangkap, film Malaysia yang populer dengan aktornya P. RAMLEE waktu itu sangat diminati di Indonesia tidak boleh ditayangkan di bioskop-bioskop dan terhenti serta merta, di kota-kota besar patung PM Malaysia dibakar, begitulah menghangatnya hubungan Indonesia dengan Malaysia waktu itu. Saat itu saya baru berumur 14 tahun. Saya tidak tahu masalah politik apa yang menyebabkan kakak beradik (Indonesia-Malaysia) itu bermusuhan.
Di Silungkang, satu-satunya alat atau media elektronik yang ada hanya RADIO LISTERIK, dipanaskan beberapa menit dulu baru keluar suaranya, kabel antenanya terbentang di langit-langit loteng, tidak semua orang memilikinya. Radio itu dikerumuni orang lebih-lebih sewaktu mendengarkan Pidato Presiden Soekarno dan juga sewaktu mendengar laporan pandangan mata pertandingan bola kaki atau pertandingan badminton. Anak-anak sebaya saya waktu itu belum tertarik betul dengan radio karena jenis permainan sehari-hari sangat banyak seperti main tapak lele, main lakon semba, main kelereng, main ucak, mandi ba anyuik-anyuik di sungai, main sipak tekong, main bal, main kasti, main olang-olang, main sicaghian, main roda-rda dan lain-lain. Dengan banyaknya jenis permainan anak-anak maka tingkat kenakalan berkurang.
Pemerintah Orde Lama bertukar dengan Pemerintahan Orde Baru di Indonesia, suasana negara pun bertukar pula, hubungan Indonesia denga Malaysia dipulihkan kembali, negara Serumpun kembali hidup mesra berdampingan. Siaran Radio Malaysia diperbolehkan kembali didengar di Indonesia.
Di Silungkang, siaran Radio Malaysia Rangkaian Nasional cukup jelas diterima, sama jelasnya dengan RRI Padang dan RRI Bukittinggi. Tahun 1967, Radio Transistor mulai ada di Silungkang, mula-mula dengan baterai (batu senter) sebanyak 24 buah dan diletakkan didalam sebuah peti, kemudian baru ada RadioTransistor 1 Band dengan 4 buah baterai (batu senter). Harga 1 buah Radio Transistor waktu itu lima ribu Rupiah. Di Silungkang hampir merata memiliki Radio Transistor, dimana siaran Radio Malaysia dan siara Radio Singapura berkumandang, sehingga baterai (batu senter) sangat laku karena radio hanya DC belum lagi AC/DC. Melalui radio, saya mulai mengenal Malaysia, baik kesenian maupun berita-berita, lagu Pop Yeyeh (Pop 60-an) selalu berkumandang, KUGIRAN (Kumpulan Gitar Rancak) semacam Group Band ditempat kita, bermunculan dimana-man dengan mengorbitkan penyanyi masing-masing. Lagu-lagu Pop Yeyeh meresap ke jiwa saya yang kebetulan waktu itu saya dikaruniai oleh Allah SWT “hati yang berbunga-bunga”, pertanda saya mulai memasuki alam remaja, di alam remaja yang penuh keindahan walaupun berada di lembah yang sunyi, apa saja yang dipandang semuanya indah. Di alam remaja ini saya merasa sangat bersemarak dengan kehadiran seorang Dewi Asmara yang langsung bersemayam disinggasana kalbu saya, hati saya baru kali ini merasakannya, mungkin inilah yang dikatakan orang “first love” caro awaknyo “tagosi jolong-jolong”. Dalam pengembaraan saya di alam remaja bersama Dewi Asmara selalu diiringi lagu-lagu merdu Pop Yeyeh (Pop 60-an) melalui Radio Malaysia. Suara Ahmad Jais, Rafe’ah Buang, A. Ramlie dan J. Kamisah menjadi nostalgia yang menyatu di hati saya diumur lebih setengah abad, sampai sekarang koleksi kaset lagu-lagu pop 60-an Malaysia masih tersimpan baik oleh saya. Bila saya memutar lagu-lagu tersebut suasana hati saya kembali ke 41 tahun yang lalu dan ada kalanya tanpa disadari “air mata menitik” terkenang masa bahagia alam remaja bersama si Dewi Asmara. Hanya 2 tahun, kemudian si Dewi Asmara “pergi tanpa pesan” pindah ke sebuah kota besar di pulau Jawa. Sejak dia pergi sampai sekarang saya tidak pernah bertemu dengan dia dan saya berhasrat dapat bertemu dengan dia walaupun sekali saja sebelum malaikat mau menjemput saya.
Lagu-lagu Pop 60’an (Pop Yeyeh) membawa kenangan tersendiri oleh saya, dendangan lagu yang dinyanyikan oleh Ahmad Jais, Rafe’ah Buang, A. Ramlie dan J. Kamisah terasa memanggil saya untuk datang ke Malaysia. Kerinduan dan keinginan yang kuat untuk pergi ke Malaysia terpendam lama sejak tahun 1968 dan barulah terwujud di tahun 1984, selama 2 tahun saya disana kembali lagi ke Silungkang, kemudian di tahun 1998 pergi ke Malaysia selama 2 tahun dan kembali lagi ke Silungkang sampai sekarang. Malaysia bagi saya serasa kampung nomor dua setelah Silungkang. Karena orang Silungkang pun ada yang telah menjadi warga negara Malaysia terutama di Johor Baru dan di Kualalumpur, mereka kalau di rumah tetap berbicara dalam bahasa Silungkang dan ada kalanya memakai tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Silungkang, bahasa Inggris dan bahasa Melayu (Malaysia).
Tanggal 20 Oktober 1999, adalah saat-saat yang mendebarkan dan juga menggembirakan hati saya. Di malam hari itu kira-kira pukul 21.00. Isteri saya sudah melihatkan tanda-tanda akan melahirkan, saya langsung berkemas-kemas dan mengumpulkan kain seperlunya ke dalam tas kemudian menunggu taksi. Kebetulan sekali rumah kami ditepi jalan, saya dukung anak saya yang berumur 5 tahun dan saya bimbing isteri saya, setelah taksi berhenti saya katakan kepada supir taksi : “Tolong antar kami ke Hospital (rumah sakit) Kuala Pilah, isteri saya nak melahirkan”.
Taksi melaju dengan cepat menuju Hospital Kuala Pilah, setibanya kami disana kami langsung saja ke UNIT KECEMASAN (unit gawat darurat).
BERSAMBUNG ……
Source :
Tabloid Suara Silungkang
Edisi Jolong Jolong, Juli 2007
Kisah Nyata Djasril Abdullah